Total Tayangan Halaman

Senin, 19 November 2012

BUPATI JEMBER DI GUGAT OLEH PEDGANG DI PN JEMBER

Senin 12 Nopember 2012 pedagang korban kebakaran dan penggusuran mendaftarkan gugatan class action di Pengadilan Negeri Jember, hal tersebut dilakukan atas dasar sebagai berikut : 1.Bahwa pasar Kencong yang beralamat di jalan Diponegoro (depan Masjid Al-Falah), Desa Kencong Kecamatan Kencong Kabupaten Jember, pada tanggal 15 Agustus 2005 dilanda kebakaran sekitar pukul 23.45 WIB. 2.Bahwa jumlah pedagang pasar Kencong sebanyak 699, dan yang kena musibah kebakaran sebanyak 210 kios/bedak 3.Bahwa pada tanggal 19 Agustus s/d 2 September 2005, tim Pemkab Jember melalui PUD Kecamatan Kencong membersihkan bangunan yang terbakar. 4.Bahwa pada tanggal 20 Aguatus 2005, Kepala Desa Kencong mengundang pedagang untuk membentuk wadah atau oraganisasi Persatuan Pedagang Pasar Kencong, yang selanjutnya di sebut P3K, di Balai desa Kencong, dan terbentuklah organisasi tersebut yang di Ketua oleh H. Azizi 5.Bahwa pada tanggal 5 September 2005 para pedagang yang kiosnya terbakar mendirikan tenda – tenda untuk tempat berjualan. 6.Bahwa pada tanggal 27 Desember 2005, Persatuan Pedagang Pasar Kencong menerima surat dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember, nomer : 346/3353/436.324/2005, tertanggal 27 Desember 2005, yang isinya diantaranya a.Semua pedagang di pasar kencong lama siap pindah besuk mulai hari minggu tanggal 1 Januari 2006 sampai dengan selesai b.Pasar Kencong lama segera di kosongkan dan akan di tutup / dipagari, agar dapat segera direncanakan pembangunan pasar Kencong baru. (surat terlampir) 7.Bahwa pada tanggal 1 Januari 2006 para pedagang baik yang terbakar maupun yang tidak terbakar pindah ke tempat penampungan sementara di tanah PTPN XI Desa Wonorejo (timur kantor Kecamatan Kencong), bagi para pedagang yang kiosnya tidak terbakar, terpaksa harus dibongkar 8.Bahwa tempat penampungan sementara yang di sediakan Pemkab Jember berbentuk los tanpa bedak, yakni, pakai atap asbes, tiang berupa kayu, lantai plester tipis, dengan ukuran 3x3 dan 3x1,5 m. Sedangkan untuk membuat bedak, para pedagang membiayai sendiri, per bedak menghabiskan dana Rp, 2500.000. 9.Bahwa selama para pedagang menempati penampungan sementara, tetap dikenakan retrebusi sebesar Rp, 1500 – 2000, sesuai dengan ukuran bedak, sampai pada tanggal 12 Januari 2012 penarikan retrebusi dihentikan. 10.Bahwa dari 699 pedagang, hanya 420 pedagang yang bisa bertahan berjualan di tempat penampungan sementara, sedangkan yang 279 tidak dapat melanjutkan aktifitas dagangnya dikarenakan sepi serta tak dapat memenuhi kebutuhan hidup, hal tersebut diakibatkan oleh carut marut kasus pembangunan pasar yang berlarut – larut sampai saat ini tak kunjung ada kejelasan baik mengenai status tanah maupun penganggaran di dalam APBD. 11.Bahwa sejak para pedagang pindah di tempat penampungan sementara, sejak itu pula Pemkab jember tidak pernah memberikan pengarahan, bimbingan, tidak pernah melakukan koordinasi maupun sosialisasi dan memberi informasi terhadap para pedagang, terutama mengenai rencana pembangunan pasar baru di atas tanah PTPN XI. Desa Kencong Kecamatan Kencong 12.Bahwa lokasi pasar lama (terbakar), oleh Pemkab Jember di pagari dan kami tidak mengerti mau di buat apa tempat tersebut, namun sampai sekarang tempat tersebut kosong. 13.Bahwa pada tanggal 8 Februari 2008 para pedagang melakukan aksi ke DPRD untuk menyampaikan aspirasi : agar supaya cepat dianggarkan di dalam APBD dan agar supaya pasar Kencong yang terbakar dapat segera di bangun di lokasi pasar lama (depan Masjid Al-Falah Kencong) 14.Bahwa pada tanggal 12 Juni 2007, tempat penampungan sementara terbakar dan menelan 50 bedak ludes terbakar 15.Bahwa pada tanggal 30 Mei 2008, Dewan Perwakilan Rakyar Daerah Kabupaten Jember, menerbitkan Keputusan nomer 8 tahun 2008 tentang rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jember terhadap laporan pertanggungjawaban Bupati Jember akhir tahun anggaran 2007, yang isinya diantaranya : Oleh karena itu DPRD merekomendasikan, perlunya dialokasikan secara khusus di dalam APBD untuk pembangunan pasar Kencong di lokasi lama sesuai dengan keinginan pedagang dan harapan masyarakat. (terlampir) 16.Bahwa pada tanggal 25 Mei 2009 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jember, menerbitkan rekomendasi kedua, terhadap laporan keterangan pertanggungjawaban Bupati Jember akhir tahun anggaran 2008, yang isinya : Segera membangun pasar kencong baru agar nasib pedagang tidak terkatung-katung lebih lama sesuai dengan rekomendasi DPRD Kabupaten Jember tahun lalu. (terlampir) 17.Bahwa pada bulan Oktober 2009, di mulai pembangunan pasar Kencong baru di atas tanah PTPN XI (depan kantor Kecamatan Kencong),. 18.Bahwa dengan dimulainya pembangunan tersebut, para pedagang terkejut dan bingung, karena para pedagang tidak pernah sama sekali diberi informasi atau sosialisasi adanya rencana pembangunan tersebut. Apa lagi pembangunan tersebut tidak sesuai dengan keinginan pedagang dan rekomendasi DPRD Kabupaten Jember. 19.Bahwa pada bulan tersebut terjadi kepanikan dikalangan para pedagang, kepanikan tersebut diakibatkan adanya informasi bahwa para pedagang harus cepat mendaftar dengan syarat membawa uang pendaftaran sebesar Rp. 500.000 – 5000.000, sesuai ukuran kios, agar supaya para pedagang kebagian tempat, karena pembangunan tersebut dijual untuk umum. 20.Bahwa para pedagang dan warga masayarakat yang bukan pedagang korban kebakaran, baik warga dalam maupun luar Kencong berbondong-bondong mendatangi kantor pemasaran pembangunan pasar Kencong baru untuk mendaftar dan mencontreng gambar kios yang telah disediakan oleh pihak pelaksana pembangunan. 21.Bahwa dari 699 pedagang, yang mampu membayar uang pendaftaran sebanyak 193 pedagang, dan dari 193 yang mampu membayar ansuran sebanyak 36 pedagang (data terlampir) 22.Bahwa atas kejadian tersebut, Pemerintah Kabupaten Jember sama sekali tidak turun tangan dan tidak pernah menjelaskan mengenai pembangunan maupun mekanisme pembayaran, praktis para pedagang dibiarkan tanpa perlindungan. 23.Bahwa atas hal tersebut para pedagang mencari tahu dan mencari data-data yang menyangkut pembangunan pasar kencong baru di atas tanah HGB PTPN XI, terutama yang berkaitan tentang status tanah dan penganggaran. 24.Bahwa telah ditemukan data surat MoU antara Bupati Jember dengan CV. Bintang Suroyya tertanggal 25 Agustus 2008, tentang perjanjian kerjasama Bangun Guna Serah Pasar Kencong di atas tanah PTPN XI. (terlampir) 25.Bahwa diantara isi perjanjian : Pada ayat 2 berbunyi, bahwa PIHAK KEDUA merupakan investor yang melakukan investasi penuh untuk membangun Pasar Kencong di Kecamatan Kencong Kabupaten Jember, Pada ayat 3 berbunyi : Bahwa PIHAK KEDUA akan membangun pasar di atas tanah pinjam pakai antara PIHAK KESATU dengan PT (persero) Perkebunan Nasional XI (MoU terlampir) 26.Bahwa pada tanggal 20 agustus 2009,Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara menerbitkan surat, nomer : S-583/MBU/2009, perihal : Persetujuan penggunaan lahan HGB PTPN XI (Persero) untuk Pembangunan pasar Kencong baru oleh Pemerintah Kabupaten Jember, yang ditujukan kepada Dereksi PT. Perkebunan Nusantara XI (Persero).Jl. Merak. No.1 Surabaya 60175, dengan ketentuan sebagaimana poin 4. Persetujuan ini berlaku selama 1 (satu) tahun, dan apabila dalam jangka waktu tersebut, perjanjian kerjasama tidak ditandatangi, maka surat perseutujuan ini tidak berlaku. (surat terlampir). 27.Bahwa Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Jember dengan PTPN XI, sebagaimana yang disayaratkan dalam surat Menteri BUMN, belum tercapai kesepakatan antara Pemkab Jember dengan PTPN XI. Dengan demikian pembangunan yang dilakukan oleh CV. Bintang Suroyya atas MoU dengan Pemkab jember tidak mendapatkan persetujuan oleh Menteri BUMN. 28.Bahwa pada bulan Maret 2011, kami beserta perwakilan pedagang mendatangi Pemkab Jember dan ditemui oleh : Abdul Hamid selaku asisten 1, Hasi Madani selaku Kepala Dinas Pasar, Roni selaku Plt Tapem. Di dalam pertemuan tersebut kami menanyakan tentang : Pertama. Menanyakan status tanah agar supaya dilakukan tukar guling sehingga tanah tersebut nantinya menjadi aset Pemkab Jember, bukan pinjam pakai sebagaimana yang tercantum di dalam MoU antara Bupati Jember dengan CV. Bintang Suroyya, sehingga para pedagang dapat bejualan dengan tenang tanpa berfikir sewaktu – waktu tanah tersebut akan diambil kembali oleh PTPN XI. Kedua. Apakah sudah ada surat kerjasama antara Pemkab Jember dengan PTPN XI, karena sebagaimana poin 4, bahwa Menteri BUMN hanya memberi batas waktu satu tahun. Ketiga. Kenapa dalam membangun Pasar Kencong Baru tidak dianggarkan dalam APBD sebagaimana rekomendasi DPRD Jember, justru malah pakai investor 29.Bahwa atas pertanyaan tersebut, baik Asisten 1, Kepala Dinas Pasar dan Plt Tapem, menjawab; bahwa tentang status tanah masih dalam proses, sedangkan untuk surat kerjasama dengan PTPN XI masih belum ada, dan tentang penganggaran pembangunan adalah kewenangan Bupati. 30.Bahwa pada bulan Mei 2011, kami dengan perwakilan pedagang mendatangi Pemkab Jember, guna menanyakan kembali tentang kasus pasar, kami ditemui oleh Abdul Hanid Asisten 1, Hasi Madani Kepala Dinas Pasar, dan Roni Plt Tapem, dengan jawaban yang sama sebagaimana poin 29. 31.Bahwa pada bulan Juli 2011, kami dengan perwakilan pedagang mendatangi Pemkab kembali, dan di temui Sekretaris Kabupaten, Asisten 1, Kepala Dinas Pasar, Kepala PU Cipta Karya dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah, hasilnya sama seperti poin 29 dan 30. 32.Bahwa pada tanggal 2 Nopember 2011, kami beserta pedagang mendatangi Pemkab kembali, dan ditemui oleh PJ Bupati, dalam pertemuan tersebut PJ Bupati menyampaikan : kami sangat prihatin dengan para pedagang yang sampai saat ini masih menempati penampungan sementara, oleh karenanya do’akan Pak Jalal segera aktif kembali agar supaya persoalan pasar Kencong segera selesai, karena tangan saya tak akan sampai untuk menyelesaikan masalah tersebut. 33.Bahwa pada tanggal 16 Nopember 2011, kami pedagang kirim surat kepada Dereksi PTPN XI di Surabaya untuk memberi tahu dan menanyakan mengenai kasus pembangunan Pasar Kencong di atas tanah HGB PTPN XI.(terlampir). 34.Bahwa pada tanggal 2 April 2012, kami para pedagang, mengirimkan surat kembali kepada Dereksi PTPN XI di Surabaya, guna mempertanyakan proses tukar guling, dari dua surat yang kami kirim, PTPN XI tidak member jawaban resmi. 35.Bahwa pada tanggal 11 Januari 2012, kami beserta para pedagang kembali mendatangi Pemkab Jember dan ditemui oleh Bupati Jember MZA.Jalal beserta jajarannya, diantaranya, Sekretaris Daerah, Kepala Dinas Pasar, Kepala PU Cipta Karya, Kepala Dinas Pendapatan Daerah dan Camat Kencong. Dalam pertemuan tersebut Bupati menyampaikan bahwa persoalan kasus pasar adalah tanggungjawab saya, oleh karena kasus ini akan segera saya tuntaskan dan kalau perlu tanah tersebut akan saya beli, dan mulai besuk penarikan retrebusi dihapus dan seterusnya (rekaman CD terlampir). 36.Bahwa setelah pertemuan dengan Bupati Jember MZA.Jalal hingga sekarang tentang status tanah masih tetap milik PTPN XI, dan tidak ada sama sekali rencana pembelian atas tanah tersebut, demikian juga mengenai tukar guling sampai saat ini mandek, maupun rencana penganggaran di dalam APBD tidak ada. 37.Bahwa sebagian para pedagang telah membayar pembelian kios kepada CV.Bintang Suroyya yang telah terikat perjanjian kerjasama Bangun Guna Serah Pasar Kencong.dengan Bupati Jember 38.Bahwa atas hal-hal tersebut di atas berdampak kerugian baik matriil maupun imatriil terhadap nasib para pedagang yang sampai saat ini masih menempati tempat penampungan sementara di atas tanah PTPN XI Desa Wonorejo Kecamatan Kencong selama 6 tahun 10 bulan. 39.Bahwa atas langkah – langkah yang diambil Bupati Jember MZA.Jalal, dalam merencanakan pembangunan pasar Kencong pasca terbakarnya Pasar Kencong, justru menambah beban berat bagi para pedagang baik matriil maupun imatrial yang berdampak memburuknya kondisi para pedagang di tempat penampungan sementara. Bupati seharunya sadar betul bahwa pedagang pasar Kencong adalah korban kebakaran yang selayaknya menjadi prioritas penganggran di dalam APBD untuk membangun pasar yang telah terbakar di lokasi lama, bukan pinjam tanah kepada PTPN XI, apa lagi para pedagang sudah puluhan tahun menempati pasar Daerah tersebut dan sudah berkontribusi dalam peningkatan PAD Jember melalui pembayaran retrebusi baik yang harian maupun bulanan. Tak sepatutnya musibah kebakaran pasar Kencong ditawar – tawarkan kepada investor untuk membangun pasar Kencong baru di tanah HGB PTPN XI dengan model pinjam pakai (Bupati pinjam tanah PTPN XI untuk pembangunan pasar Kencong baru), lalu mengadakan perjajian dengan CV.Bintang Suroyya sebagai investor penuh untuk melaksanakan pembangunan sesuai MoU. Celakanya CV.Bintang Suroyya selaku investor tidak dapat memenuhi target pembangunan, sebagaimana yang tertuang dalam MoU : PIHAK KEDUA melaksanakan pembangunan pasar beserta fasilitasnya sebagaimana di maksud pasal 2, dalam waktu paling lama 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak dtandatanganinya perjajian oleh PARA PIHAK (perjanjian ditandatangi 25 agustus 2008).Sehingga pembangunan pasar Kencong baru di atas tanah HGB PTPN XI mangkrak sampai sekarang. Di sisi lain, perseutujuan Menteri BUMN sudah tak berlaku, karena Menteri BUNM hanya membatasi satu tahun 40.Bahwa atas kebijakan Bupati MZA.Jalal tersebut, bedampak terhadap kehidupan para pedagang korban kebakaran, yang mana sampai saat ini belum ada kejelasan baik soal status tanah dan penganggaran di dalam APBD maupun mengenai nasib pedagang selanjutnya. 41.Bahwa Pasar Kencong yang terbakar pada tahun 2005 adalah merupakan Pasar Daerah Kabupaten Jember kls 1, dan tanahnya adalah milik Pemerintah Kabupaten Jember. 42.Bahwa para pedagang sudah puluhan tahun membayar retrebusi dan berjualan di lokasi lama (Pasar yang telah terbakar). 43.Bahwa Kerjasama Bangun serah Guna Pembangunan Pasar Kencong Baru di atas tanah HGB PTPN XI, antara Pemerintah Kabupaten Jember dengan CV.Bintang Suroyya dan atau dengan pihak lain, bertentangan dengan Undang – Undang nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. BAB IX : KERJASAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN. Pasal 195. : 3).Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. 4).Kerja sama sebagaimana yang di maksud pada ayat 1 dan 3 yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD Di dalam surat permohonan gugatan class action, para pedagang menggugat kerugian sebesar Rp.80.302.955000 (delapan puluh milyar tiga ratus dua juta sembilan ratus lima puluh lima ribu rupiah}

Rabu, 13 April 2011

PEDAGANG KORBAN KEBAKARAN PASAR KENCONG

Sudah enam tahun berjalan tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2005 harapan para pedagang pasar kencong di gantung oleh sebuah janji sang bupati, enam tahun brejalan kami hidup penuh penderitaan di relokasi penampungan tanpa perlindungan dan pembelaan, tak ada komunikasi yang dibangun oleh pihak pemkab, tak ada musyarawarah, tiba tiba muncul pasar “ajaib” di lokasi tanah HGU PTPN XI yang justru bertentangan dengan aspirasi para pedagang korban kebakaran pasar kencong.

Apalah artinya kami punya pemerintahan, apalah artinya kami punya sang bupati yang dipilih langsung oleh rakyatnya, kalau tidak mau mendengar dan mewujudkan aspirasi rakyat serta sama sekali tidak berpihak pada kepentingan rakyat, justru kami para pedagang korban kebakaran pasar kencong merasa di tindas oleh sang pembuat kebijakan, hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya pambangunan pasar kencong diatas tanah HGU PTPN XI yang sifatnya hanya pinjam tanpa sedikitpun berunding dengan para pedagang korban kebakan pasar kencong.

Pembangunan pasar kencong diatas tanah HGU PTPN XI yang sifatnya hanya pinjam justru menambah beban berat kepada para pedagang korban kebakaran pasar kencong. Selama ini pemkab Jember tidak pernah melakukan sosialisasi dihadapan para pedagang, para pedagang ditinggal dan pemkab Jember lebih memilih berunding serta berpihak pada kepentingan investor, yang lebih mengejutkan lagi ketika Pak Hasi madani kepala dinas pasar mengatakan pada saat kami audensi pada tanggal 30 Maret 2011 di ruang asisten I, bahwa pembayaran pembelian kios/los setelah pembangunan tersebut selesai “tukar konci”, namun hal tersebut kepala Dinas pasar tidak pernah menyampaikan kepada para pedagang, sehingga terjadi kesemerawutan mekanisme pembayaran tanpa adanya jaminan perlindungan dari Dinas pasar, yang lebih parah lagi pihak pemkab Jember dalam hal ini Dinas pasar tutup mata serta melakukan pembiaran terhadap kejadian tersebut, kami para pedagang korban kebakaran pasar kencong praktis tidak pernah di beri pengarahan baik soal status tanah maupun soal tata cara pembayaran.

Akibatnya milyaran rupaiah uang para pedagang terserap dan mengendap di tangan investor CV.Bintang Sorayya tanpa adanya MoU antara pihak pedagang korban kebakaran dengan pihak CV Bintang Sorayya selaku investor. Disamping itu dari 699 pedagang korban kebakaran, hanya 383 yang mendaftar walau dengan cara menjual barang barang berharga, seperti sepeda motor, mobil dan lain lain, dan sisanya 316 tidak mampu membayar uang muka sehingga sampai saat ini belum mendapatkan tempat los/kios.

Dengan kejadian tersebut kami para pedagang korban kebakaran pasar kencong boleh dikata : sudah jatuh tertimpa tangga, hal tersebut seharusnya tidak terjadi kalau pemkab Jember menjalankan fungsinya dengan benar dan konsekuen, artinya Pemkab Jember sudah sepatutnya mengutamakan kepentingan rakyatnya diatas kepentingan pribadi, bukan menari nari diatas penderitaan rakyat yang dibungkus dengan baju kolusi.

Pasar kencong agar segera di bangun kembali dan saya ingin pembangunan pasar kencong harus atas persetujuan masyarakat pedagang karena saya tidak ingin masyarakat sengsara dan menderita, itulah janji sang Bupati MZA Djalal di saat meninjau lokasi kebakaran pasar Kencong tanggal 16 Agustus 2005 dihadapan para pedagang korban kebakaran, tapi janji tersebut di ingkari tanpa peduli justru menjadi duri yang menyakiti hati para pedagang korban kebakan sampai saat ini.

Belum lagi soal status tanah yang tidak jelas antara pihak pemkab Jember dengan pihak PTPN XI, malah semakin membebani para pedagang korban kebakaran, padahal soal tanah merupakan hal yang sangat mendasar, kenapa soal tersebut belum di selesaikan terlebih dahulu sebelum pembangunan berjalan, kalau toh sekiranya dari PTPN XI tidak mau melepaskan tanahnya, kenapa mengabaikan aspirasi para pedagang kebakaran pasar kencong yaitu membangun pasar di lokasi yang lama.

Apalagi aspirasi para pedagang korban kebakaran pasar Kencong sudah dituangkan dalam rekomendasi DPRD Jember nomer 8 tahun 2008 tentang rekomendasi DPRD terhadap laporan keterangan pertanggung jawaban Bupati Jember akhir tahun anggaran tahun 2007 dikuatkan rekomendasi DPRD Jember tahun 2009 tentang laporan keterangan pertanggung jawaban Bupati Jember akhir tahun anggaran tahun 2008 : “DPRD merekomendasikan perlunya dialokasikan secara khusus di dalam APBD untuk pembangunan pasar Kencong di lokasi lama sesuai dengan keinginan pedagang dan harapan masyarakat”.Tapi rekomendasi tersebut tak bisa mempengaruhi hati nurani sang Bupati yang sudah terlajur jatuh "cinta" kepada sang investor.

Jumat, 03 Desember 2010

Tolak tambang pasir besi paeban bergolak

Ribuan Warga Sandera Pendukung Tambang Pasir Besi
Rabu, 01 Desember 2010 15:44:51 WIB
Reporter : Oryza A. Wirawan

Jember (beritajatim.com) - Jember selatan bergolak kembali. Ribuan orang warga turun ke jalan menyandera pendukung salah satu perusahaan tambang pasir besi, di Blok Kelor, Pantai Paseban Ujung, berbatasan dengan Kabupaten Lumajang, Rabu (1/12/10).

Ceritanya, sekitar pukul 13.00, warga mengetahui kedatangan seorang bernama Rudi bersama sejumlah orang ke daerah Paseban. Rudi ini diidentifikasi sebagai 'orang' salah satu perusahaan tambang pasir besi di sana.

"Tanpa ada koordinasi, Pak Rudi datang dan melakukan sosialisasi. Ada dua kendaraan bersama Pak Rudi," kata Lasidi, salah satu tokoh masyarakat Paseban.

Menurut Lasidi, Rudi datang ke Paseban melihat-lihat kondisi. Warga Paseban langsung bergerak, karena Rudi memiliki persoalan dengan warga, terkait sikapnya mendukung penambangan pasir besi di sana. Mulanya warga yang berkumpul ratusan, namun dalam tempo singkat mencapai seribu orang.

Warga yang emosional sempat hendak menggebuki Rudi. "Tapi dicegah oleh beberapa warga lainnya. Saya juga berusaha melerai," kata Lasidi.

Untung, warga yang lain, tidak tahu benar maksud Rudi datang ke Pantai Paseban. "Ini tak ada kaitannya dengan saya," katanya. Aparat kepolisian sudah turun ke lokasi untuk mengamankan situasi.

Pantai Paseban masuk dalam wilayah Kecamatan Kencong. Warga di sana terbelah, antara mendukung dan menolak kehadiran tambang pasir besi. Ribuan warga yang menolak sempat berunjukrasa di depan kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan, awal tahun 2010. Bahkan, di Pantai Paseban pula, seorang peneliti asal Kanada sempat disandera oleh warga, pada 26 April 2010 lalu. [wir]


Masyarakat Antitambang Sudah Terlatih
Jum'at, 03 Desember 2010 17:18:19 WIB
Reporter : Oryza A. Wirawan

Jember (beritajatim.com) - Ketua LSM Mina Bahari, M. Sholeh, meminta kepada semua pihak untuk menahan diri dalam kontroversi tambang pasir biji besi di Pantai Paseban Kecamatan Kencong. Rakyat sudah terlatih dan memahami advokasi tambang.

Sholeh adalah salah satu aktivis yang getol melakukan advokasi antitambang di Paseban. Ia prihatin dengan adanya aksi kekerasan di sana, Rabu malam lalu. "Saya menyayangkan. Ada indikasi masyarakat terprovokasi," katanya, Jumat (3/12/2010).

Rabu (1/12/2010) itu adalah Rabu yang menegangkan. Ribuan orang warga bergerak, karena mendengar kabar perwakilan perusahaan tambang pasir besi masuk ke area pantai. Padahal, masyarakat sudah menolak penambangan. Dua mobil dirusak, dan sejumlah rumah dilaporkan diserang.

Bahkan, lanjut Sholeh, masyarakat sudah terlatih melakukan advokasi tambang. "Kalau di sana ada kabar soal tambang, atau orang asing yang dicurigai terkait penambangan, maka dengan membunyikan kentongan atau komando dari speaker di masjid, warga akan segera berkumpul," katanya.

Sholeh meminta pengusaha dan pemerintah daerah memahami, bahwa penolakan tambang di Paseban cukup besar. "Usulan kami adalah status quo untuk meredam, agar tak ada lagi kejadian seperti kemarin," katanya.

Penambangan pasir besi sudah salah sejak awal. Masyarakat di Paseban tak pernah diberikan pemahaman yang benar soal ini dan dampaknya terhadap lingkungan. Masalah perijinan pun tak transparan. "Setelah pengurusan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), seharusnya ada konsultasi publik, dan ini tak dilakukan," kata Sholeh.

Bambang Kusmairi, salah satu warga Paseban, mengatakan, sejumlah warga pernah diajak oleh salah satu perusahaan tambang di Paseban untuk melakukan studi banding ke Cilacap. "Dari situ, kami tahu Paseban tak sama dengan Cilacap. Karakter pantainya berbeda," katanya. Studi banding itu justru memerkuat keinginan warga untuk menolak tambang di Paseban. [wir]

Kamis, 04 November 2010

PTPN XI (PABRIK GULA) MATI DI KANDANG TEBU

JAWA TIMUR ADALAH KANDANG TEBU,LUAS LAHAN TEBU JATIM 186 RIBU Ha, SUPLAI TEBU JATIM TAHUN 2010 DIPERKIRAKAN SURPLUS 350 RIBU TON DARI KEBUTUHAN PABRIK GULA YANG ADA DI JATIM,….

JADI KALAU ALASAN DIREKSI PTPN XI AKAN MENUTUP 7 PABRIK GULA
( PG. KANIGORO DI MADIUN, PG. GENDING-PG. WONOLANGAN-PG. PAJARAKAN KETIGANYA DI PROBOLINGGO,LALU PG. WRINGINGANOM-PG. OLEAN-PG. PANJI KETIGANYA DI SITUBONDO ) KARENA MERUGI DISEBABKAN TIDAK ADANYA LAHAN TEBU SUNGGUH DI LUAR NALAR….

FAKTUAL DI LAPANGAN PETANI TEBU DI WILAYAH PTPN XI JUSTRU MENGIRIM/MENSUPLAI TEBUNYA TIDAK KE PG-PG DI WILAYAH PTPN XI TETAPI PG-PG DIBAWAH DIREKSI PTPN X,RNI,SERTA PABRIK GULA SWASTA SEPERTI PG. CANDI, PG. KEBON AGUNG MALANG, PG. KREBET MALANG DIKARENAKAN PETANI MERASA LEBIH UNTUNG…TETAPI KALAU DIKIRIM KE PG-PG DIWILAYAH PTPN XI( 16 PG ) JUSTRU RUGI …PERBANDINGAN SAJA KALAU DIKIRIM KE PG-PG PTPN XI PEMASUKAN KOTOR 35 JUTA/ Ha KALAU DILUAR PTPN XI 55 JUTA/Ha….

JUMLAH TEBU YANG LARI KE LUAR WILAYAH PTPN XI DIPERKIRAKAN 1,5 SEBANYAK JUTA TON TEBU….

CONTOH SAJA PETANI JEMBER MENGIRIM TEBU KE PABRIK GULA KEDIRI YANG JAUHNYA 200 KM LEBIH PADAHAL DI JEMBER YANG JAUH NYA KURANG DARI 40 KM ADA PABRIK MILIK PTPN XI…..

APALAGI PETANI TEBU YANG ADA DI LUMAJANG,PROBOLINGGO, PASURUAN DAN MADIUN PASTI AKAN RAMAI-RAMAI TUH TIDAK KIRIM KE PG-PG PTPN XI….

LUASAN LAHAN TEBU DI WILAYAH KERJA YANG TIDAK DIKIRIM KE PTPN XI, BONDOWOSO 500 HA, SITUBONDO 300 HA, JEMBER 3500 HA, LUMAJANG 10.000 HA, PROBOLINGGO 2000 HA, PASURUAN 2000 H, MADIUN 3000 HA….

SEKARANG PERSOALANNYA ADALAH KENAPA DIREKSI PTPN XI MENGAKU RUGI SEDANG PETANI DIWILAYAH PTPN XI KALAU MENGIRIM TEBU KE PABRIK GULA PTPN XI RUGI JUGA….LALU SIAPA YANG UNTUNG DAN DIUNTUNGKAN????…

INI BIANG KELADINYA ADA DI MANAJEMEN DIREKSI PTPN XI YANG TIDAK PROFESIONAL DAN ADA MAKSUD-MAKSUD TERTENTU…KITA MENDUGA DIREKSI MEMBAWA KEPENTINGAN KAPITAL BESAR ALIAS PEMBURU RENTE……INI YANG HARUS DIKUAK DAN DIBONGKAR…..



3 NOVEMBER 2010

M. ALI FIKRI, SP. PELAKSANA HARIAN PPTR PTPN XI/ KETUA UMUM PPTR JEMBER.

Rabu, 20 Oktober 2010

PIDATO BUNG KARNO 1 JUNI 1945 (SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA)

Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

Maaf beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan di dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah – dalam bahasa Belanda – Philosofische grondslag (dasar filosofi-Ed.) dari Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka Tuan Ketua yang mulia. Tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada Tuan-Tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
“Merdeka” buat saya adalah political independence, politieke onafhankelijkheid (kemerdekaan politik, dalam bahasa Inggris dan Belanda-Ed.). Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini – zwaarwichtig (seolah-olah amat berat, dalam bahasa Belanda-Ed.) akan perkara-perkara kecil. Zwaarwichtig sampai – kata orang Jawa – jelimet (dengan teliti, rinci dan lengkap, dalam bahasa Jawa-Ed.). Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.

Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah bedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet, maka saya bertanya kepada Tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80 persen dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkalah Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka!

Lihatlah pula – jikalau Tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat – Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia adal rakyat Musyik (golongan yang percaya adanya Tuhan, tetapi tak menganut suatu agama-Ed.) yang lebih dari 80 persen tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo (Kepala Kantor Tata Usaha untuk Lembaga Tinggi, dalam bahasa Jepang, yang berada di bawah pemerintah militer Jepang untuk mengurus persiapan sidang-sidang BPUPKI-Ed.)! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuany! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka… sampai di lubang kubur!
(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Maka di dalam risalah tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhkelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam – in one night only – kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyadh dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan Ibn Saud, maka di seberang jembatan – artinya kemudian dari pada itu – Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade (suku yang berpindah-pindah tempat, atau pengembara, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah lagi oleh Ibn Saud menjadi kaum tani – semuanya di seberang jembatan.

Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka telah mempunyai Dneprprostoff, dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyiai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia tel mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche (tempat penitipan bayi dan anak-anak pada waktu orangtua bekerja-Ed.), baru mengadakan Dneprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan sekalian, janganlah Tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-tuan punya semangat – jikalau Tuan-tuan demikian – dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasra Indonesia Merdeka sekarang!
(Tepuk tangan-riuh)

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semoboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan-riuh)

Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar-hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar!

Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon (Kekaisaran Jepang Raya-Ed.) untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseik-kan (Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang-Ed.) diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo (Kepala Departemen Urusan Umum-Ed.) diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo (Kepala Departemen-Ed.) diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid – in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milsiyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon, sekarang menyerahkan urusan negara kepada Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke rumiyin – tunggu dulu – minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)

Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain, tentang isinya. Tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis (tuntutan minimum, dalam bahasa Belanda-Ed.). Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, Saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka.
(Tepuk tangan riuh)

Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji 500 gulden. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul (memantul, dalam bahasa Jawa-Ed.), sudah mempunyai meja-kursi yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet (pakaian untuk anak-anak, dalam bahasa Belanda-Ed.), barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat – yaitu meja makan, lantas satu zitje (tempat duduk untuk bersantai, dalam bahasa Belanda-Ed.) – lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu Saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengans satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk (jurutulis, dalam bahasa Belanda-Ed.) dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: Kawin.
Sang Ndoro (atau Bandoro, berarti majikan atau tuan, dalam bahasa Jawa-Ed.) yang mempunyai rumah gedung, electrische-kookplaat (alat masak listrik, dalam bahasa Belanda-Ed.), tempat tidur, uang bertimbun-timbun: Kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig (berbahagia, dalam bahasa Belanda-Ed.), belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, Saudara-saudara!
(Tepuk tangan dan tertawa)
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver (peralatan makan dari perak, dalam bahasa Belanda-Ed.) satu kaset plus kinder-uitzet – buat 3 tahun lamanya!
(Tertawa)

Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: Kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence… saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka!
(Tepuk tangan riuh)

Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu. Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu per satu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata, kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerudeem (penyakit busung lapar, dalam bahasa Belanda-Ed.), banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.”

Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyatukan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan – jembatan emas – inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.

Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht – hukum internasional – menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko (macam-macam, dalam bahasa Jawa-Ed.), yang jelimet. Tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, Saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara lain yang merdeka, itulah yang sudah bernama: Merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya – sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak?
(Jawab hadirin: Mau!)

Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal “dasar”.
Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag, atau – jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk – Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu Weltanschauung (pandangan hidup, dalam bahasa Jerman-Ed.), di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas national sozialistische Weltanschauung – filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu Weltanschauung, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu Weltanschauung, yaitu yang dinamakan Tenno Koodoo Seishin. Di atas Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas suatu Weltanschauung – bahkan di atas satu dasar agama – yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja mati-matian untuk me-realiteit-kan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed, “Sovyet-Rusia didirikan dalam 10 hari oleh Lenin cs.” – Reed di dalam kitabnya Ten days that shook the world, Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia… walaupun Lenin mendirikan Rusia dalam 10 hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia Weltanschauung-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas Weltanschauung yang sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan.

Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum tahun 1917, Weltanschauung itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudan, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed… hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruh kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?

Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini – Weltanschauung ini – dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885 – kalau saya tidak salah – dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The Three People’s Principles, San Min Chu I – Mintsu, Minchuan, Min Sheng: Nasionalisme, demokrasi, sosialisme – telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas Weltanschauung apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah? San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan – macam-macam – tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadi-Koesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencarai persatuan philosofische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi “setuju”! Yang Saudara yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?

Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918… ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan.
Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia.

Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara-saudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat (negara nasional, dalam bahasa Belanda-Ed.), seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan (Ernest Renan, pemikir orientalis Perancis-Ed.), syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: le desir d’etre ensemble, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain – yaitu definisi Otto Bauer (pemikir dan teoritikus Partai Sosial Demokrat Austria-Ed.) – di dalam bukunya, Die Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: Was ist eine Nation? Dan dijawabnya ialah: Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft (bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib-Ed.). Inilah menurut Otto Bauer satu natie.

Tetapi kemarin pun, tatkala – kalau tidak salah – Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr.Yamin berkata: Verouderd! Sudah tua! Memang Tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah verouderd, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan geo-politik.

Kemarin – kalau tidak salah – Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan Gemeinschaft-nya (persamaan atau persatuannya, dalam bahasa Jerman-Ed.) dan perasaan orangnya, l’ame et le desir (jiwa dan kehendaknya, dalam bahasa Perancis-Ed.) Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun – jikalau ia melihat peta dunia – ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikan pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.

Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daeraha Yunani yang lain-lain – segenap kepulauan Yunani – adalah satu kesatuan.

Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat – antara rakyat dan buminya – maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d’etre ensemble, tidak cukup definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft itu.

Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 milyun.Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun haya satu bagian kecil dari satu kesatuan.

Pendek kata, bangsa Indonesia – Natie Indonesia – bukanlah sekadar contoh satu golongan orang yang hidup dengan le desir d’etre ensemble di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara 70.000.000 ini sudah ada le desir d’etre ensemble, sudah terjadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(Tepuk tangan hebat)

Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.

Saudara-saudara, jangan mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen (kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony-Ed.) adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermania-lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia-lah – yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pengunungan Alpen – adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi nationale staat.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Di luar itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram – meskipun merdeka – bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten – meskipun merdeka – bukan suatu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tua-tuan terima baik, marilah kita mengambil dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.

Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo (Wakil Ketua, maksudnya Soeroso-Ed.), Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan.”
(Liem Koen Hian menanggapi: “Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.”)
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitanisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitanisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid – perikemanusiaan!

Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun.” Itu terjadi pada tahun ‘17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu, tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat, sehormat-hormatnya, merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen – sampai masuk ke lobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)

Saudara-saudara! Tetapi… tetapi… memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan, ekstrem-Ed.), sehingga berpaham “Indonesia uber Alles (Indonesia di atas semua bangsa-Ed.).” Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity.”

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan Deutschland uber Alles. Tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru – bangsa Arya – yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-Tuan. Jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip yang kedua. Inilah philosofische princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup di dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2 – yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian – adalah bergandengan erat satu sama lain.

Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam – maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna – tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.

Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.

Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan hanya Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90 persen daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf beribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian – baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam – setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul, betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candaradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!
Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter (huruf, dalam bahasa Inggris-Ed.) di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya, sebagian besar dari utusan-utusan yang masukn badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play! (permainan yang jujur, dalam bahasa Inggris-Ed.). Tidak ada negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahu wa ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara prinsip nomor 3, yaitu prinspi permusyawaratan!

Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: Prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: Nationalism, Democracy, Sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire demoratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie (Revolusi Perancis, dalam bahasa Belanda-Ed.). Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah politieke demoratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid – tidak ada keadilan sosial, tak ada economische democratie sama sekali.

Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan politieke demoratie. “Di dalam parlementaire demoratie,” kata Jean Jaures, “tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”
Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister (menteri, dalam bahasa Belanda dan Inggris-Ed.). Ia seperti raja. Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja – di dalam pabrik – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar jalan raya, dibikin werloos (menganggur, dalam bahasa Belanda-Ed.), tidak dapat makan suatu apa.”

Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan bada permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid (keadilan politik dan keadilan sosial, dalam bahasa Belanda-Ed.).
Kita akan bicrakan hal ini bersama-sama, Saudara-Saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki vooronderstelt erfe-lijkheid (pewarisan yang sudah diketahui terlebih dahulu, dalam bahasa Belanda-Ed.). Turun-temurun. Saya orang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, janganlah anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya – dengan otomatis – menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu, saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin)

Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid (sifat dapat memahami pendapat yang lain, dalam bahasa Belanda-Ed.), tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini – sesuai dengan itu – menyatakan: Bahwa prinsip kelima dari Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!

Ingatlah prinsip ketiga – permufakatan, perwakilan – di situlah tempatnya ktai mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam (tidak sabar, memaksa, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: “Pendawa Lima.”)

Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip – kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan – lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa — namanya ialah Pancasila. Sila artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh)

Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme – kebangsaan dan perikemanusiaan – saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan Sosio-nasionalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische demoratie – yaitu politieke demoratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan – saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan Sosio-demokrasi.

Tinggal lagi Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indoesia buat Indoesia. Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)

“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)

Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu.
Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, Saudarna-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia. Di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat-laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah SWT.

Berhubungan dengan itu – sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi – barangkali perlu diadakan noodmaat-regel (aturan darurat, dalam bahasa Belanda-Ed.), peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita.
Entah Saudara-saudara memufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membangun nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan – menjadi realiteit – jika tidak dengan perjuangan!
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
De Mensch – manusia – harus perjuangkan itu. Zonder (tanpa, dalam bahasa Belanda-Ed.) perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: Zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (hitam di atas putih, dalam bahasa Belanda-Ed.), tertulis di atas kertas, tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bansa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan!
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.
Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko – tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad: Merdeka! “Merdeka atau mati!”
(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap verschrikkelijk zwaarwichtig (seolah-olah sangat berat, dalam bahasa Belanda-Ed.) itu.
Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh-rendah dari segenap hadirin)
(Diambil dari Pancasila Bung Karno, Paksi Bhinneka Tunggal Ika, 2005).

Selasa, 12 Oktober 2010

Tolak Tambang Pasir Besi Paseban

Sehubungan dengan rencana eksploitasi tambang pasir besi oleh kuasa pertambangan PT. Agtika Dwi Sejahtra di Desa Paseban Kecanatan Kencong seluas 491,8 Ha, sebagaimana surat Disperindag Kabupaten Jember nomer 541.3/056/436.314/2008. bersama ini kami Lembaga Swadaya Masyarakat Mina Bahari beserta ribuan masyarakat menolak rencana eksploitasi tambang pasir besi, atas dasar sebagai berikut :

1. Sesuai undang undang nomer 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bagian keenam tentang larangan, pasal 35 (i) :Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung di larang : melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara tehnis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/ atau pencemaran lingkungan dan/ atau merugikan masyarakat sekitarnya

2. Undang undang nomer 26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) dan Peraturan Pemerintah nomer 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional merupakan pedoman dasar yang perlu di pahami secara seksama. Apa lagi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik Propensi maupun Kabupaten,bahwa daerah paseban sampai puger merupakan kawasan lindung.


3. Bahwa Desa Paseban kecamatan Kencong merupakan kawasan lindung yang wajib di jaga dan tidak boleh melakukan perubahan fungsi, karena kondisi giologis kawasan tersebut sangat rawan terhadap bencana terutama bencana Tsunami. Dan sekedar di ketahui bahwa bencana Tsunami pada tahun 1994, gumuk dan gundukan pasir di daerah tersebut dapat menghalau dan menghambat hantaman gelombang Tsunami, sehingga rakyat Desa paseban selamat dari ancaman Tsunami.

4. Akan mengancam kelestarian biota laut terutama penyu, karena disepanjang pantai paseban sampai pantai puger merupakan salah satu tempat bertelornya hewan yang bernama penyu.

5. Kegiatan eksploitasi tambang pasir besi dapat mengakibatkan dampak besar yakni terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala luas, sehingga mengancam kehidupan para nelayan dan petani.

6. Sepanjang pantai paseban sampai pantai puger merupakan konsevasi pesisir yang seharusnya di lindungi dan di lestarikan ekosistemnya guna menjamin keberadaan, ketersediaan dan keseimbangan sumber daya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan kwalitas nilai serta keanekaragamannya.

7. Bahwa rencana eksploitasi tambang pasir besi di Desa Paseban seluas 491.8 Ha oleh kuasa pertambangan PT. Agtika Dwi Sejahtra tidak memenuhi ketentuan sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah nomer 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomer 11 tahun 2006 mengenai jenis usaha atau kegiatan wajib AMDAL. Dan pada kenyataannya PT. Agtika Dwi Sejahtra selaku pemegang kuasa pertambangan pasir besi di Desa Paseban tidak membuat Analisa Mengenai Dampak Lingkuan (AMDAL)

Sehubungan dengan hal tersebut diatas demi mencegah bencana Tsunami yang setiap saat akan terjadi karena lempengan bumi selalu bergerak dan bergeser serta menjaga kelestarian ekosistem laut, kami Lembaga Swadaya Masyarakat Mina Bahari beserta ribuan masyarakat paseban meminta kepada Kepala Disperindag Kabupaten Jember :

a. Menghentikan segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh kuasa pertambangan PT. Agtika Dwi Sejahtra.
b. Mencabut izin eksploitasi kuasa pertambangan PT. Agtika Dwi Sejahtra.

Senin, 27 September 2010

PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN

Reformasi sebagai bagian dari pendalaman dan percepatan proses glo-balisasi di Indonesia membawa serta masuknya nilai-nilai universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia yang kemudian menguasai opini publik da¬lam atmosfir politik nasional. Wacana publik tentang demokrasi dan hak asasi manusia itu menjadi menonjol dan menenggelamkan wacana tentang Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang mewarnai “dunia bunyi-bunyian” pada masa Orde Baru. Lenyapnya Pancasila dari dunia tuturan sejak reformasi menimbulkan keprihatinan yang cukup dalam, baik dalam ka¬langan elite politik maupun masyarakat luas. Keprihatinan itu ditunjukkan melalui berbagai pernyataan di media massa maupun kegiatan-kegiatan lainnya seperti seminar, simposium, dan sarasehan mengenai Pancasila dan eksistensinya setelah reformasi. Bahkan Lembaga Ketahaman Nasional (Lem¬hanas) telah membentuk deputi khusus untuk menangani masalah “makin menipisnya kesadaran dan penghayatan akan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa”.

FENOMENA GLOBALISASI
Globalisasi adalah proses memudar atau menghilangnya batas antar-negara menuju terbentuknya “desa mondial” dalam pergaulan hidup umat manusia, dengan berbagai implikasinya. Di bidang ekonomi, makin kita sadari bahwa uang tidak lagi mempunyai tanahair dan makin sulit bagi suatu negara untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang merdeka, karena secara faktual kegiatan ekonomi telah berada di luar batas teritorial negara. Di bidang ekologi, suatu negara tidak mungkin lagi mengabaikan tuntutan in¬ternasional atas masalah lingkungan hidup karena makin disadari bahwa kerusakan lingkungan di suatu wilayah akan berpengaruh di wilayah lainnya di muka bumi. Di bidang kebudayaan, suatu bangsa tidak mungkin lagi menghindarkan diri dari pengaruh peradaban global karena makin intensif¬nya interaksi antarbangsa melalui berbagai media komunikasi yang makin murah dan tersebar luas ke seluruh pelosok desa. Di bidang politik, makin berkurang kemampuan negara untuk mengontrol kepatuhan warganya kare¬na globalisasi bukan saja mengakibatkan internasionalisasi produksi barang dan jasa, melainkan juga internasionalisasi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, serta meningkatkan intensitas kontak dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses globalisasi.

Situasi yang digambarkan tadi sering kali menimbulkan situasi panas dingin yang diliputi ketegangan-ketegangan. Untuk mengatasi masalah ini diper¬lukan adap¬tasi dan inovasi pranata-pranata yang mendukung kehidupan ber¬masyarakat, berbangsa, dan bernegara agar secara elastis dapat menyi¬asati tantangan perubahan yang terjadi. Kegagalan dalam melakukan adaptasi dan inovasi pranata politik dan pranata ekonomi bukan saja akan menimbulkan kesulitan-kesulitan, melainkan juga mengandung resiko ter¬jadinya khaos dan kehancuran. Runtuhnya Orde Baru melalui reformasi be¬berapa tahun yang lalu adalah akibat kegagalannya untuk melakukan adap¬tasi dan inovasi pranata-pranata pendukungnya.

Proses globalisasi yang melanda suatu bangsa juga mempunyai keku-atan yang sangat dahsyat untuk membentuk kembali ideologi partai-partai dengan menyusupnya “globalisme” ke dalam ideologi asli mereka. Pemben-tukan kembali ideologi partai-partai ini akhirnya juga mendefinisikan ulang kesadaran para pemimpinnya. Oligarkhi yang terbangun dalam partai-partai itu lebih dekat dengan ideologi “globalisme” dan dengan mudah dapat me¬ma¬tahkan semangat perjuangan para pendukungnya yang kurang penga-laman dan kurang pendidikan.

ORDE REFORMASI DAN GLOBALISASI
Untuk meninjau lebih jauh pengaruh globalisasi terhadap masa depan Indonesia, perkenankan saya menyampaikan pandangan saya mengenai hakikat orde reformasi dibandingkan dengan Orde Baru. Dilihat dari kaca-mata ekspansi kapitalisme internasional, Orde Baru dan orde reformasi sebenar¬nya masih berada dalam satu perahu, meskipun berbeda keran¬jang, yaitu perahu yang akan membawa Indonesia terintegrasi lebih jauh ke dalam sistem kapitalisme internasional. Orde Baru dan orde reformasi lahir di tengah-tengah kekacauan eko¬nomi yang parah dan kemudian melakukan rehabilitasi ekonomi dengan dana pinjaman luar negeri berdasarkan resep-resep Dana Moneter Internasional (IMF). Keduanya menjalankan politik pintu terbuka, Orde Baru yang mendobrak pintunya dan orde reformasi melanjutkan prosesnya. Perbedaan penting antara politik pintu terbuka yang dijalankan oleh Orde Baru dan po¬litik pintu terbuka yang dijalankan oleh orde reformasi dapat dijelaskan sebagai berikut : politik pintu terbuka Orde Baru dimaksudkan untuk mengintegrasi¬kan Indonesia ke dalam kerangka kerja dunia bebas melawan komunisme, sedangkan politik pintu terbuka orde reformasi dimaksud¬kan untuk menginte¬grasikan Indonesia ke dalam masyarakat dunia paska perang dingin. Frasa dunia bebas dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk meng¬ga¬bungkan sekutu-sekutunya melawan komunisme selama perang dingin ; sedangkan frasa masyarakat dunia juga dipergunakan oleh Amerika Serikat un¬tuk menyatakan bahwa setelah usainya perang dingin hanya tinggal satu dunia, yaitu dunia yang dipimpin oleh Amerika Se¬rikat. Dalam kerangka kerja dunia bebas Amerika Serikat memberikan kebebasan kepada sekutu-sekutunya untuk memi¬lih sistem pemerintahan dan kebijaksanaan dalam negerinya sen¬diri, sedangkan dalam kerangka kerja masyarakat dunia sekutu-sekutunya itu harus menyesuaikan diri dengan “nilai-nilai universal” seperti pasar bebas, liberalisasi perdagang¬an, demokrasi, dan hak asasi manusia. Perubahan kebijakan Amerika Serikat ini mengikuti kecenderungan kapitalisme sebagai sistem dunia yang terus-menerus memperbesar keuntungannya melalui cara yang seefisien mungkin.

Melalui reformasi, ketidakpuasan rakyat dan kegelisahan elite politik diarahkan untuk berlangsungnya transisi politik dari kekuasaan militer ke pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Meskipun dalam reformasi sempat bergema semangat untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan, tetapi rezim yang terbentuk melalui pemilihan umum yang bebas dan demokratis itu justru memperdalam dan memperluas kebijakan pasar bebas yang sudah diperkenalkan oleh Orde Baru, melalui agenda privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi ekonomi di mana-mana. Hal ini terjadi karena intervensi lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang didukung oleh kepentingan oligarkhi, baik oligarkhi dalam birokrasi negara maupun oligarkhi dalam kepemimpinan partai-partai.


PANCASILA DAN GLOBALISASI
Dalam konteks seperti yang digambarkan di atas, globalisasi sebagai proyek ideologis kapitalime internasional untuk mem¬¬per¬¬luas kekuasaannya atas negara berdaulat haruslah diwaspadai sebagai musuh utama Pancasila saat ini. Usahanya yang gencar untuk terus memperlemah peran negara melalui agenda privati¬sasi, liberalisasi, dan deregulai ekonomi di mana-mana serta kampanye besar-besaran mengenai pasar bebas adalah merupakan tantangan yang sangat nyata terhadap Pancasila. Melawan pandangan liberal yang berusaha meyakinkan umat manusia bahwa pasar dengan sendirinya akan dapat memecahkan semua persoalan masyarakat, Panca¬sila justru menghendaki peranan aktif negara untuk membuat regulasi yang efektif atas kapital (asing maupun domestik) untuk melindungi kepentingan rakyat dan mewujudkan keadilan so¬sial. Pancasila menghendaki dicegahnya free fight competition and survival of the fittest yang akan menghancurkan perusahaan-perusahaan yang lemah melalui sentralisasi kapital pada perusahaan-perusahaan transnasional.

Pembelaan kita terhadap peranan negara untuk memperkuat kontrol sosial terhadap kapital tidak berlaku untuk negara yang dikuasai oleh koruptor dan pemburu rente. Prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak rezim yang korup hanya akan menggunakan negara sebagai alat struktural dan instrumental segelintir kelas penguasa untuk memperkaya diri dan mem¬pertahankan hak-hak istimewanya. Negara yang kita bela adalah negara yang secara cerdas dapat mengimplementasikan Pancasila di tengah-tengah gelombang globalisasi, melalui regulasi yang kompeten untuk melindungi rakyat Indonesia dari gempuran free fight liberalism.

Globalisasi telah digunakan sebagai ideologi untuk membenarkan berkembangnya ketidakadilan sosial, polarisasi sosial yang lebih besar, dan beralihnya sumber daya yang dimiliki negara ke kapital. Globalisasi mem-berikan rasionalisasi ideologis tumbuhnya ketidakadilan sosial yang secara diametral berlawanan dengan Pancasila yang menghendaki terwujudnya ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perkembangan global memang me¬¬mak¬sa kita untuk mengakui bah¬wa pasar adalah pusat kegiatan dan kemajuan ekonomi, tetapi pengalam¬an bangsa-bangsa di dunia juga menunjukkan bahwa pemerintah tetap memiliki peranan penting, bukan saja untuk menciptakan pemerataan yang lebih baik, tetapi juga untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Catatan statis¬tik me¬nunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat pemerataan pendapatan yang lebih lebih baik, pada tingkat pendapatan per kapita yang sama, akan me¬ngalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.


PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indo-nesia (BPUPKI), yang kemudian dikenal sebagai Lahirnya Pancasila. Dalam pidato tersebut Bung Karno mengusulkan Pancasila menjadi dasar negara In¬donesia merdeka, atau dalam istilah beliau sendiri “dasar-dasar”, “philoso¬phische grondslag”, “Weltanschauung” di atas mana didirikan ne-gara Indo¬nesia. Atau mengutip dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Badan itu, dalam kata pengantar buku Lahirnya Pancasila, merupakan “suatu Beginsel yang menjadi dasar negara kita, yang menjadi Rechtideologie negara kita, suatu beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno”.

Pancasila sebagai dasar negara mempunyai akar langsung pada kehen¬dak sejarah bangsa Indonesia sendiri, yang diterima sebagai konsensus atau keputusan politik yang diambil oleh para pendiri negara. Mengapa founding fathers negara Republik Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya negara ? Kalau kita ikuti “suasana keba¬tinan” yang terungkap dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers kita berupaya dengan semangat yang gigih untuk menetapkan dasar negara yang dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan me¬ne¬rima Pancasila sebagai dasar negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing. Pancasila diterima sebagai dasar negara karena nilai-nilai yang ter¬kandung di dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa. Atau dengan kata lain, prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Panca¬sila itu mengungkap¬kan pendirian dan pandangan hidup bersama bang¬sa Indonesia.
Cita-cita moral bangsa atau pendirian dan pandangan hidup bangsa adalah konstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi atau perintah moral bagi bangsa tersebut untuk mencapai cita-cita yang diinginkan bersa-ma. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi se-bagai “bintang penuntun” untuk tercapainya cita-cita bersama. Meskipun Leitsteren itu merupakan titik akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin di-capai sepenuhnya, tetapi Leitsteren itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji atau melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya, serta menjadi pedoman dalam mengambil keputusan praktis atas problematik yang dihadapi.


MEMBASISKAN PANCASILA
Masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma da¬sar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penye-leng¬gara kekuasaan negara memang benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pancasila. Kontrol masyarakat terha-dap pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sangat di-perlukan agar praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan ne¬gara selalu mencerminkan norma dasar Pancasila itu. Kontrol masyarakat itu perlu untuk mencegah para pemburu rente menggunakan negara sebagai alat untuk memperkaya diri di tengah-tengah arus globalisasi (yang sarat dengan kepentingan ekspansi kapitalime global) yang melanda Indonesia sekarang ini.

Untuk memperkokoh eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita moral bangsa perlu dilancarkan gerakan untuk membasiskan Panca¬sila. Gerakan ini didasarkan pada adagium bahwa ketahanan ideologi suatu bangsa terletak pada kekuatan sosial yang mendukungnya. Dengan gerakan pembasisan ini, kita mengajak masyarakat untuk memperkokoh konsensus nasional tentang Pancasila sebagai dasar negara, memahami dan menghayati imple¬mentasi Pancasila di tengah-tengah arus globalisasi, dan membiasakan diri untuk menggunakan Pancasila sebagai “bintang penuntun” dalam menyele¬saikan masalah bangsa di tengah-tengah arus globalisasi. Pembasisan Pancasila bukanlah sekedar transfer of knowledge, melainkan harus merupakan usaha raksasa untuk membangun kembali ethos kebangsa¬an, seperti yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa pergerak¬an kemerdekaan dulu.