Total Tayangan Halaman

Minggu, 21 September 2008

KOORDINASI TOLAK TAMBANG TUMPANG PITU bANYUWANGI

Gerakan tolak tambang tumpang pitu Kabupaten Banyuwangi yang di komandani oleh Konsorsium Advokasi Rakyat sekitar Tambang ( KARST ) terus bergulir si semua lapisan masyarakat, mulai dari kalangan nelayan, petani, mahasiswa dan perguruan tinggi.
Hal tersebut di buktikan dengan adanya pertemuan koordinasi pada tanggal 20 september 2008 di Hotel Surya Jajag Banyuwangi yang di hadiri oleh Pergerakan mahasiswa ilsam Indonsia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Badan Ekskutif Mahasiswa UNTAG Banyuwangi,STIBA,IBRAHIMI,Kepala Desa Sarongan Basuni, Kandangan Barok, Pesanggaran Sasongko, Pengusaha serta nelayan dan petani.
Dalam pertemuan tersebut, seluruh peserta yang hadir sepakat menolak rencana penambangan (eksploitasi) yang dilakukan oleh PT. IMN. Penolakan tersebut du dasarkan atas pertimbangan kerusakan lingkungan dan perubahan status sosial budaya pasca eksploitasi, di samping tidak dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat di sekitar tambang. Selain itu peserta yang hadir juga menyoroti terbitnya surat rekomendasi DPRD Banyuwangi nomer terntang peningkatan status eksplorasi menjadi eksploitasi, mereka menganggap bahwa rekomendasu tersebut cacat hukum karena tidak melalui mekanisme regulasi yang sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Pertemuan yang di mulai dari jam 13.00. sampai jam 21.00. membuahkan bebrapa agenda, diantaranya melakukan penguatan basis di sekitar tambang yang di sokong oleh tiga Kepala Desa, mereka bertekat akan selalu melindungi rakyatnya walaupun jabatan sebagai taruhannya, kami dipilih oleh rakyat bukan diangkat oleh Pemerintah, oleh karenanya menjadi suatu kejiban kami, untuk membela kepentingan rakyat, tuturnya.
Di lain pihak organisasi Mahasiswa baik intra maupun ekstra akan melakukan aksi untuk mendesak kepada Pemerintah Banyuwangi agar menghentikan aktifitas PT.IMN di tumpang pitu serta menduduki gedung DPRD Banyuwangi agar supaya segera mencabut surat rekomendasi, di samping itu mereka akan melakukan tuntutan di jalur hukum. Di samping itu KASRT juga akan mengadakan kajian dalam bentuk seminar yang akan bekerjasana dengan UNTAG Banyuwangi, dalam seminar tersebut rencananya akan mengundang para intelektual dan ilmuwan, organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra, tokoh nelayan, petani, pengusaha , ormas serta dari pihak pemerintah dan PT. IMN. yang bertujuan untuk adu argumentasi analisis tentang dampak pertambangan baik ditinjau dari segi lingkungan dan status perubahan sosial budaya maupun dari segi kesejahtraan rakyat.

Selasa, 09 September 2008

tolak tambang tumpang pitu kab. banyuwangi jatim

Konsorsium Advokasi Rakyat sekitar Tambang ( KARST ) sedang medampingi rakyat Banyuwangi terutama rakyat yang akan kena dampak limbah dari penambangan yang akan dilakukan oleh PT IMN. Dalam advokasinya KARST membentuk Koalisi Rakyat tolak Tambang ( KARATT ) yang terdiri dari kelompok nelayan, kelompok tani, LSM dan Tokoh masyarakat.
Bentuk advokasi yang telah dilakukan adalah pertama melakukakan hering dengan DPRD Banyuwangi pada tanggal 14 Agustus 2008, yang bertujuan menuntut DPRD Banyuwangi untuk mencabut surat rekomendasi DPRD nomer 005/758/429.040/2007 tentang peningkatan ekplorasi menjadi eksploitasi.

Dasar tuntutan pencabutan tersebut, KARST menilai bahwa DPRD Banyuwangi telah melakukan kesalahan dalam menerbitkan surat rekomendasi, baik di tinjau dari segi mekanisme regulasi maupun dari segi argumentasi. Yakni pada tanggal 8 Oktober 2007 PT IMN melakukan presentasi di hadapan Komisi D dan Komisi C DPRD Banyuwangi, pada tanggal 9 Oktober 2007 muncul surat rekomendasi yang di tanda tangani oleh Ketua DPRD Banyuwangi yaitu Ir. Wahyudi. jadi terbitnya surat rekomendasi tersebut hanya berdasarkan presentasi PT IMN di hadapan komisi D dan C, bukan berdasarkan kajian dan penelitian secara ilmiah mengenai dampak lingkungan maupun dampak perubahan sosial budaya.

Pada tanggal 21 Agustus 2008 KARST melakukan aksi bersama rakyat pancer, lampon, grajakan, muncar mendatangi gedung DPRD Banyuwangi yang berjumlah 200 orang perwakilan dengan tujuan yang sama, yakni menuntut agar DPRD mencabut surat rekomendasi. dalam aksi tersebut KARST dan KARATT di terima oleh gabungan komisi yakni Komisi A, Komisi B, Komisi C, Komisi D, sidang gabungan Komisi dengan perwakilan aksi di pimpin oleh Ketua Komisi D yaitu Wahyudi SE. yang menhasilkan menerbitkan surat bersama yang di tanda tangani oleh seluruh anggota DPRD yang hadir dan perwakilan aksi, yang berisi :

1. Mendesak kepada pimpinan DPRD Banyuwangi agar segera mencabut surat Rekomendasi nomer 005/758/429.040/2007 tentang peningkatan status ekplorasi menjadi eksploitasi.
2. Mendesak kepada Bupati Banyuwangi, agar menghentikan kegiatan ekplorasi yang di lakukan oleh PT IMN.

KARST dan KARATT sedikit lega dan waspada serta curiga dengan muculnya surat bersama tersebut, apakah DPRD Banyuwangi benar benar membela rakyatnya atau hanya sekedar memberi harapan tanpa kepastian, karena selama ini DPRD banyuwangi belum melakukan tindakan yang benar benar membela rakyat di sekitar tambang, hal ini terbukti DPRD Banyuwangi tidak pernah memanggil pihak PT IMN maupun Bupati Banyuwangi mengenai persoalan tambang emas tumpang pitu yang berada di wilayah Kecamatan Pesanggaran.

Kecurigaan KARST dan KARATT benar benar terbukti, pada tanggal 8 september 2008 bertempat di aula PTPN XII perkebunan sungai lembu PT IMN melakukan sosialisasi amdal yang di hadiri oleh Ibu Dewi Bappedal Malang dan Bupati Banyuwangi, ada hal yang aneh dalam sosialisasi tersebut, tempatnya jauh di pelosok dan menempati gedung aula PTPN XII serta tertutup dan terbatas, di jaga ketat oleh SATPOL PP dan POLISI, rakyat yang ingin tahu tentang amdal tidak boleh masuk, hanya orang orang tertentu yang boleh masuk, padahal amdal merupakan konsumsi publik siapapun berhak tahu, karna amdal bukan rahasia negara.

Dari kejadian tersebut apa yang telah di perbuat oleh DPRD Banyuwangi? selalalu menjadi tanda tanya di kalangan rakyat. Tapi KARST dan KARATT tidak akan patah semangat untuk menolak rencana penambangan mas tumpang pitu yang di lakukan oleh PT IMN, serta selalu mendampingi dan mengadvokasi rakyat yang akan kena dampak tambang.

Mohon dukungan do'a kawan kawan seperjuangan, semoga KARST dan KARATT sukses melindungi dan memperthankan kemerdekaan dari penindasan yang merupakan cita cita dari rakyat di sekitar tambang, hidup damai dan tentram sesuai dengan pekerjaan dan budaya merka.

Rabu, 13 Agustus 2008

PENGAWET DARI TEMPURUNG KELAPA

MENGENAL MESIN PROSESING
LIQUID SMOKE (PENGAWET TEMPURUNG KELAPA)
DENGAN TEKNIK PEMBUATAN ARANG
Oleh : Ir. Sumarno (Tim Ahli LSM Mina Bahari)





Hasil uji alat prosesing asap cair tanpa tambahan bahan bakar (bahan baku sekaligus bahan bakar), dimana kapasitas produksi alat sebesar 20 kg tempurung kelapa kering menunjukkan hasil sebagaimana Tabel 1.







Mekanisme kerja alat distilasi I penghasil asap cair I (cairan seperti ter) sangat sederhana, sebagaimana terlihat pada Gambar 4C dan 4D. Tempurung kelapa kering sebesar 20 kg masuk ke tabung bahan baku dan diberi bakaran arang batok secukupnya pada posisi atasnya (Gambar 4C). Tabung bahan baku dinaikkan dan kemudian dikunci, maka proses produksi berjalan (Gambar 4D). Enam jam berikutnya produksi sudah didapat (tanpa blower).
Pembuatan asap cair dengan model teknik pembuatan arang, hanya mengandalkan beda tekanan udara dari tekanan tinggi ke rendah, sehingga udara dari bagian bawah (suhu rendah) secara perlahan bergerak meniup asap masuk ke pipa-pipa sublimasi dan asap akan berubah menjadi cairan.



Hasil produksi asap cair I sebagaimana Tabel 4, terlihat bahwa alat prosesing yang dilengkapi blower hasil produksinya hanya sebesar 4412,5 cc (selama 4 jam 30 menit). Alat prosesing tanpa blower produk yang dihasilkan jauh lebih tinggi yakni sebesar 6300 cc (selama 6 jam 26 menit). Fenomena ini menunjukkan bahwa asap yang terbentuk dari proses pembuatan arang, bila dihembuskan udara kencang asap lebih banyak terbuang dan sebagian kecil mengalami sublimasi menjadi cairan ter (tidak efisien).

Atas dasar uraian di atas dan informasi lainnya, alat prosesing asap cair I tanpa blower adalah merupakan alat yang lebih efisien dibanding alat prosesing lainnya. Alat rancang ini sudah tanpa bantuan energi luar sama sekali dan aman dari ledakan. Selain itu harga jualnya jauh lebih murah, alat distilasi I dan II yang telah disempurnakan harga jualnya hanya sekitar Rp 5.000.000,– sampai dengan Rp 6.000.000,– per unitnya.


Ditinjau dari segi kemampuan produktivitas, bila alat prosesing asap cair lainnya dalam 100 kg tempurung kelapa kering hanya mampu menghasilkan 25 liter asap cair. Alat distilasi I di atas, dalam 100 kg bahan baku akan diperoleh asap cair sekitar 32 liter dan arang aktif (arang batok) sebanyak 21,75 kg.


Gambar 3. Contoh kemasan hasil distilat II atau liquid smoke (bahan persiapan uji pengawetan ikan).



Senin, 05 Mei 2008

jenis biota laut yang harus di lestarikan

jenis binatang ini memang sangat menggiurkan, baik di pandang dari segi warna,bentuk rasa maupun gizi yang terkandung di dalamnya, apa lagi kalau di lihat dari segi harga. pasti sangat tergiur untuk melakukan penangkapan dengan berbagai cara yang dilakukan oleh pemburu rupiah. Bayangkan saja harga per kg berkisar : udang batu Rp. 110.000. untuk jenis warna dan bambu Rp. 125.000. untuk jenis pasir Rp. 175.000. jenis kipas merah Rp. 150.000. jenis mutiara Rp. 350.000. oleh karnanya banyak di buruh oleh para nelayan.




Akan tetapi sekarang udang udang tersebut sangat langkah, karna demi rupiah, para nelayan dalam melakukan penangkapan menggunakan cara yang bertentangan dengan undang undang lingkungan hidup yakni memakai potasium, sehingga menimbulkan kematian terhadap bibit {nener} di samping merusak terumbu karang.




Sehubungan dengan hal tersebut saya menghimbau kepada pecinta biota laut dan aktifis lingkungan hidup untuk mengkampanyekan pelestarian terhadap biota tersebut. sebab pertumbuhan udang tersebut sangat lambat, dari bibit {nener} untuk mencapai dewasa membutuhkan waktu kurang lebeih 1,5 tahun. Oleh karnanya saya sangat sepakat kalau biota tersebut di masukan dalam daftar binatang langkah.




Senin, 11 Februari 2008

SARASEHAN SEHARI

’MENIMBANG DEMOKRASI DESA’


Assalamu’alaikum War. Wab.
Salam demokrasi dan reformasi kami sampaikan, semoga Tuhan yang Maha Kuasa selalu memberi kesehatan sehingga kita dapat berjuang untuk kepentingan rakyat. Amin

Kata Pengantar
Pada tahun 1979 Pemerintah menerbitkan Undang Undang nomer 5 tahun 1979, UU tersebut mempunyai sifat sentralistik, otoritarian serta korporatis yang melakukan kontrol sangat ketat terhadap desa {Kepala Desa}. Lahirnya UU nomer 5 tahun 1979 bertujuan untuk menerapkan penyeragaman desa dengan satu model, yang menghancurkan identitas desa,struktur pemerintahan desa dan kearifan lokal. Masyarakat desa juga kehilangan kepemilikan sumber daya alam yang membuat mereka kehilangan basis sumber daya kehidupan. Apalagi UU tersebut menciptakan sebuah sistem politik yang otokratis, dengan cara menempatkan kepala desa sebagai ”penguasa tunggal” tanpa kontrol dari institusi parlemen maupun rakyat desa. Akibatnya kepala desa tidak menjadi peminpin yang berbasis rakyat, melainkan hanya menjadi kepanjangan tangan birokrasi untuk mengontrol rakyat desa.

Namun ketika arus reformasi bergulir, lahirlah UU nomer 22/1999 yang melakukan koreksi terhadap UU nomer 5/1979. Secara formal UU 22/1999 membuka semangat demokratisasi, partisipasi dan pemberdayaan. UU 22/1999 secara signifikan membuka ruang bagi masyarakat desa untuk mrnrntukan identitasnya yang telah lama hilang selama penerapan UU 5/1979, mengurangi kontrol negara terhadap desa serta sedikit banyak memberikan kewenangan untuk memperkuat eksistensi dan otonomi desa.

Dari sisi demokratisasi UU 22/1999 telah membuka ruang politik yang lebih inklusif dan memotong sentralisme serta otoritarianisme di tangan ”penguasa tunggal” sehingga maasyarakat desa lebih kritis menuntut kinerja kepala desa, untuk lebih akuntabel dan transparan dalam mengelola kebijakan desa. Terlebih lagi dengan kehadiran Badan Perwakilan Desa {BPD} menjadi aktor baru dalam nuansa demokrasi. Masyarakat desa berharap kehadiran BPD menjadikan semangat baru bagi demokrasi desa yaitu sebagai artikulator aspirasi dan partisipasi masyarakat desa serta sebagai alat kontrol yang efektif terhadap pemerintah desa, walaupun terjadi hubungan yang konfliktual, itupun hanya sementara, karna adanya eforia dan pemahaman masing masing masih terbatas.

Pada tahun 2004 terbit UU 32/2004 menggantikan UU 22/1999. hadirnya UU 32/2004 justru berbalik arah, yakni tidak untuk memperkuat desentralisasi dan demokrasi desa, melainkan hendak melakukan resentralisasi,. neokorporatisme dan rebirokratisasi terhadap desa. UU 32/2004 jelas banyak catatan, yaitu regulasi tersebut menciptakan kemunduran demokrasi dan otonomi desa, serta tidak memperjelas kedudukan dan kewenangan desa, di samping itu pula akuntabilitas kepala desa kepada bupati melalui camat sungguh sangat melemahkan fondasi demokrasi desa, khususnya tanggung jawab kepala desa kepada rakyat sebagai pemilih yang memberi mandat kepadanya..Dan untuk membuka wacana demokrasi desa, kami atas nama ” Forum Peduli Desa ” menyelenggarakan seminar sehari dengan Tema MENIMBANG DEMOKRASI DESA, yang akan dilaksanakan nanti pada :

Hari,tanggal : sabtu 16 februari 2008
J a m : 8.00. WIB
Tempat : rumah makan palem jember

Dengan nara sumber :

Drs. Tri Candra dari Universitas Jember
Drs. Iwan Kusuma
Presiden SEKTI Irfan Rahman

Sehubungan dengan hal tersebut, kami mengundang kepada bapak,ibu,saudara untuk hadir dalam acara seminar sehari tersebut. Demikian dan atas partisipasi serta kehadirannya disampaikan terima kasih.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Selasa, 01 Januari 2008

memperkuat demokrasi desa

Memperkuat Demokratisasi Desa
untuk Pembaruan Agraria

I. Tujuan Program
Praktek memperkuat proses demokratisasi di wilayah pedesaan di Indonesia dapat dilaksanakan melalui dua saluran, (i) formal dan (ii) informal. Walaupun kedua saluran tersebut berada pada arena yang bebas nilai, termasuk arena bertarung di dalamnya, dimana terdapat kecenderungan-kecenderungan lain yang tidak sejalan dengan proses demokratisasi. Sementara itu dalam rangka menuju proses demokratisasi di desa terdapat 3 (tiga) persyaratan sosial-ekologis yang utama, yakni (a) syarat keselamatan hidup rakyat; (b) syarat kelangsungan pelayanan alam; (c) syarat peningkatan produktifitas rakyat. Oleh sebab itu, yang sangat diperlukan kemudian adalah mengenali berbagai arena pertarungan baik itu yang mendorong jalannya proses demokratisasi di desa dengan 3 (tiga) persyaratan sosial-ekologis utama tersebut, ataupun menghambat berjalannya proses dan syarat tersebut. Langkah selanjutnya kemudian memilih agenda kerja yang bersesuaian dengan kapasitas dan kapabilitas yang dipunyai para aktor sosial yang selama ini terlibat aktif menggerakkan agenda penguatan demokratisasi di desa, baik itu yang formal maupun informal.

Program KARSA saat ini hendak meningkatkan dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas para aktor sosial, baik laki-laki maupun perempuan di level desa. Hal ini dilakukan dalam rangka menghambat keberlangsungan ancaman bagi pemenuhan syarat-syarat sosial-ekologis yang nantinya tidak saja menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan hidup suatu komunitas, yang sekaligus disertai dengan usaha percepatan pemenuhannya. Lebih jauh dari itu, proses kerja KARSA ke depan juga memberi jaminan pada prinsip-prinsip demokrasi.

Adapun komponen tujuan umum di atas adalah:
Mengemas dan memediakan inisiatif-inisiatif kongkrit dari berbagai tindakan kolektif untuk perbaikan syarat-syarat sosial-ekologis yang menjamin ketiga syarat di atas: (a) syarat keselamatan hidup rakyat; (b) syarat kelangsungan pelayanan alam; (c) syarat peningkatan produktifitas rakyat.
Menyediakan lingkaran-lingkaran belajar bagi para pemimpin local untuk memperkuat tindakan-tindakan kolektif dalam rangka memperbaiki syarat-syarat sosial-ekologis di atas.
Memfasilitasi daya jelajah para pemimpin local untuk mengembangkan kecakapannya dalam rangka memperkuat tindakan-tindakan kolektif guna memperbaiki syarat-syarat sosial-ekologis di atas.
Menyediakan informasi dan analisis mengenai kecenderungan dinamika perubahan sosial yang melingkupi inisiatif perbagaikan syarat-syarat sosial-ekologis di atas.

2. Komponen Program
Secara umum terdapat 3 (tiga) macam program besar yang akan dilaksanakan dalam rangka Memperkuat Demokratisasi Desa untuk Pembaruan Agraria. Dalam prosesnya lebih dikedepankan dengan cara membangun lingkar-lingar belajar di berbagai wilayah prakarsa perbaikan syarat-syarat sosial-ekologis. Dan ketiga macam program tersebut lebih ditujukan kepada aktor sosial yang dapat menggerakkan agenda penguatan demokratisasi di desa dengan tetap mengacu kepada syarat-syarat sosial-ekologis di atas. Adapun komponen dan program tersebut adalah; (a) memperkuat organisasi sipil di tingkat desa, (b) memperkuat pranata pemerintahan desa, (c) Memperkuat pranata ekonomi produksi desa (konsep tata produksi).

2.1. Memperkuat Organisasi Sipil di Tingkat Desa
Pengalaman masa lalu telah memberi banyak pelajaran, dimana berkembangnya aktor sosial yang selama ini menggerakkan agenda penguatan proses demokratisasi tercerabut dari akar sosial-ekologisnya. Karena itu, yang harus terlebih dulu dibangun adalah proses “mengakarkan” (kembali) para aktor sosial yang potensial tersebut melalui berbagai aktifitas pemeriksaan terhadap kondisi sosial-ekologis yang ada dikomunitasnya dan berbagai ancaman dan kesempatan syarat-syarat keberlangsungannya. Dalam upaya ini harus diutamakan aktor sosial (baik laki-laki maupaun perempuan) yang datang dari kelompok-kelompok yang selama ini dipinggirkan oleh sistem politik, ekonomi, sosial dan budayanya, yakni: (i) kelompok perempuan, (ii) masyarakat adat, dan (iii) kelompok tani dan nelayan

Paling tidak ada 3 (tiga) proses kerja yang diurus oleh program ini dalam rangka “mengakarkan” kembali para aktor sosial yang datang dari ketiga kelompok masyarakat di atas. Harapannya adalah untuk meningkatkan berbagai kecakapan aktor sosial dalam rangka untuk terus menerus secara kreatif menggerakkan perubahan sosial yang lebih adil, sekaligus memperkuat posisi masyarakat sipil dalam hubungannya dengan Negara. Adapun proses kerja tersebut adalah:
Berbagai pertemuan komunitas untuk mengkonsolidasikan arah gerak perbaikan syarat-syarat sosial-ekologis komunitas.
Berbagai usaha langsung perbaikan syarat-syarat sosial-ekologis komunitas.
Pendidikan para aktor sosial (sebagai penggerak proses demokratisasi desa) untuk mendapatkan peningkatan kecakapan perbaikan syarat-syarat sosial-ekologis komunitas.

2.1.1. Kelompok Perempuan
Kegagalan dan keberhasilan gerakan rakyat dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria yang terjadi saat ini pasti tidak terputus dari yang terjadi sebelumnya. Ketidakterputusan dengan sejarah ini penting untuk mengenali mengapa, dimana, bagaimana kegagalan dan keberhasilan itu terjadi sehingga menimbulkan inspirasi atau penglihatan dari dimensi lain yang tidak terbayangkan. Salah satu instrumen yang bisa digunakan untuk mengindari keterputusan gerakan masa kini dan lalu adalah melalui pengendapan pengetahuan (baik dengan tulisan, rekaman, dll). Namun, sangat sulit menemukan endapan pengetahuan terutama yang ditulis sendiri oleh pelaku gerakan, terutama lagi Perempuan. Karena umumnya sejarah yang ada diendapkan oleh orang di luar gerakan (peneliti dan akademisi) terkadang mereduksi kenyataan sebenarnya. Kalaupun ditemukan, biasanya endapan pengetahuan mengenai gerakan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria disusun oleh laki-laki, yang celakanya (seringkali) berbeda perspektif dengan perempuan.

Seharusnya, perempuan sebagai aktor sosial, proses pengendapan pengetahuan adalah suatu kegiatan yang penting dan harus dilakukan. Proses menulis adalah proses berfikir. Kegiatan menulis juga sebagai proses menggali hasil kristalisasi pengalaman atas persoalan yang ditekuninya. Selain itu endapan pengetahuan setidaknya memiliki 3 (tiga) makna penting: (i) pengetahuan berbagai persoalan setempat dari perspektifnya perempuan bisa diangkat; (ii) persoalan yang tadinya hanya diketahui hanya oleh sebagian kecil masyarakat itu dapat menjangkau publik yang lebih luas; (iii) endapan pengetahuan adalah alat bantu untuk melakukan pembelaan dan suara korban.

Melihat seluruh kenyataan di atas, dipandang penting untuk menginisiasi lingkar belajar yang menyediakan ruang bagi analisis gender dalam persoalan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Proses ini diharapkan meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan mengorganisir pikiran seperti menganalisis, menuliskan/merekam, dan menyajikan mengenai berbagai kasus agraria. Hasil endapan pengetahuannya diharapkan dapat digunakan untuk melakukan pembelaan rakyat diberbagai arena.

Setidaknya kegiatan ini dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar:
1. Pengendapan pengetahuan awal dari perempuan di berbagai komunitas sebagai ‘pintu masuk’ dalam proses belajar di lingkar.

Dalam proses awal ini, peserta belajar adalah para perempuan yang menjadi pelaku gerakan sosial (baik aktivis ORNOP, aktivis Organisasi Rakyat maupun perempuan dari berbagai komunitas) yang berasal dari wilayah prakarsa perbaikan syarat-syarat sosial-ekologis jaringan KARSA. Dalam serial kegiatan (yang terdiri dari 2 kali pertemuan kelas dan 1 kali asistensi lapangan) awal ini, akan dihasilkan endapan pengetahuan yang akan diterbitkan menjadi sebuah buku.

2. Pendalaman proses pengendapan pengetahuan di lapangan dengan membangun pusat belajar di komunitas.

Setelah melalui proses di atas, diharapkan akan diperoleh 2 (dua) komunitas dengan kasus menarik yang bersedia menindaklanjuti proses ini dengan menjalani proses belajar yang lebih mendalam. Peserta belajar dalam proses ini adalah para perempuan dalam komunitas terkait, dan dijalankan di dalam komunitas tersebut. Sebagai bagian terpenting di dalam proses ini akan dipelajari bagaimana mengorganisir data dan informasi serta mengorganisir pikiran agar dimiliki kemampuan untuk menganalisis persoalan (menghubung-hubungkan antar konsep-konsep atau gejala sosial tertentu dengan gejala sosial yang lain) yang mereka hadapi. Tentu saja ini tidak terpisak dengan praksis yang telah dan sedang berlangsung.
3. Pengendapan Pengetahuan sebagai Hasil Proses Belajar yang telah Dijalani sebagai Bahan Belajar Komunitas lainnya
Setelah keseluruhan proses di atas telah dijalani, berdasarkan pengalaman, fasilitator bersama dengan beberapa peserta belajar terpilih akan bersama-sama menyusun manual. Manual ini diharapkan dapat digunakan sebagai proses belajar untuk komunitas lainnya membangun pusat belajar dan pengorganisasian perempuan