Total Tayangan Halaman

Jumat, 03 Desember 2010

Tolak tambang pasir besi paeban bergolak

Ribuan Warga Sandera Pendukung Tambang Pasir Besi
Rabu, 01 Desember 2010 15:44:51 WIB
Reporter : Oryza A. Wirawan

Jember (beritajatim.com) - Jember selatan bergolak kembali. Ribuan orang warga turun ke jalan menyandera pendukung salah satu perusahaan tambang pasir besi, di Blok Kelor, Pantai Paseban Ujung, berbatasan dengan Kabupaten Lumajang, Rabu (1/12/10).

Ceritanya, sekitar pukul 13.00, warga mengetahui kedatangan seorang bernama Rudi bersama sejumlah orang ke daerah Paseban. Rudi ini diidentifikasi sebagai 'orang' salah satu perusahaan tambang pasir besi di sana.

"Tanpa ada koordinasi, Pak Rudi datang dan melakukan sosialisasi. Ada dua kendaraan bersama Pak Rudi," kata Lasidi, salah satu tokoh masyarakat Paseban.

Menurut Lasidi, Rudi datang ke Paseban melihat-lihat kondisi. Warga Paseban langsung bergerak, karena Rudi memiliki persoalan dengan warga, terkait sikapnya mendukung penambangan pasir besi di sana. Mulanya warga yang berkumpul ratusan, namun dalam tempo singkat mencapai seribu orang.

Warga yang emosional sempat hendak menggebuki Rudi. "Tapi dicegah oleh beberapa warga lainnya. Saya juga berusaha melerai," kata Lasidi.

Untung, warga yang lain, tidak tahu benar maksud Rudi datang ke Pantai Paseban. "Ini tak ada kaitannya dengan saya," katanya. Aparat kepolisian sudah turun ke lokasi untuk mengamankan situasi.

Pantai Paseban masuk dalam wilayah Kecamatan Kencong. Warga di sana terbelah, antara mendukung dan menolak kehadiran tambang pasir besi. Ribuan warga yang menolak sempat berunjukrasa di depan kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan, awal tahun 2010. Bahkan, di Pantai Paseban pula, seorang peneliti asal Kanada sempat disandera oleh warga, pada 26 April 2010 lalu. [wir]


Masyarakat Antitambang Sudah Terlatih
Jum'at, 03 Desember 2010 17:18:19 WIB
Reporter : Oryza A. Wirawan

Jember (beritajatim.com) - Ketua LSM Mina Bahari, M. Sholeh, meminta kepada semua pihak untuk menahan diri dalam kontroversi tambang pasir biji besi di Pantai Paseban Kecamatan Kencong. Rakyat sudah terlatih dan memahami advokasi tambang.

Sholeh adalah salah satu aktivis yang getol melakukan advokasi antitambang di Paseban. Ia prihatin dengan adanya aksi kekerasan di sana, Rabu malam lalu. "Saya menyayangkan. Ada indikasi masyarakat terprovokasi," katanya, Jumat (3/12/2010).

Rabu (1/12/2010) itu adalah Rabu yang menegangkan. Ribuan orang warga bergerak, karena mendengar kabar perwakilan perusahaan tambang pasir besi masuk ke area pantai. Padahal, masyarakat sudah menolak penambangan. Dua mobil dirusak, dan sejumlah rumah dilaporkan diserang.

Bahkan, lanjut Sholeh, masyarakat sudah terlatih melakukan advokasi tambang. "Kalau di sana ada kabar soal tambang, atau orang asing yang dicurigai terkait penambangan, maka dengan membunyikan kentongan atau komando dari speaker di masjid, warga akan segera berkumpul," katanya.

Sholeh meminta pengusaha dan pemerintah daerah memahami, bahwa penolakan tambang di Paseban cukup besar. "Usulan kami adalah status quo untuk meredam, agar tak ada lagi kejadian seperti kemarin," katanya.

Penambangan pasir besi sudah salah sejak awal. Masyarakat di Paseban tak pernah diberikan pemahaman yang benar soal ini dan dampaknya terhadap lingkungan. Masalah perijinan pun tak transparan. "Setelah pengurusan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), seharusnya ada konsultasi publik, dan ini tak dilakukan," kata Sholeh.

Bambang Kusmairi, salah satu warga Paseban, mengatakan, sejumlah warga pernah diajak oleh salah satu perusahaan tambang di Paseban untuk melakukan studi banding ke Cilacap. "Dari situ, kami tahu Paseban tak sama dengan Cilacap. Karakter pantainya berbeda," katanya. Studi banding itu justru memerkuat keinginan warga untuk menolak tambang di Paseban. [wir]

Kamis, 04 November 2010

PTPN XI (PABRIK GULA) MATI DI KANDANG TEBU

JAWA TIMUR ADALAH KANDANG TEBU,LUAS LAHAN TEBU JATIM 186 RIBU Ha, SUPLAI TEBU JATIM TAHUN 2010 DIPERKIRAKAN SURPLUS 350 RIBU TON DARI KEBUTUHAN PABRIK GULA YANG ADA DI JATIM,….

JADI KALAU ALASAN DIREKSI PTPN XI AKAN MENUTUP 7 PABRIK GULA
( PG. KANIGORO DI MADIUN, PG. GENDING-PG. WONOLANGAN-PG. PAJARAKAN KETIGANYA DI PROBOLINGGO,LALU PG. WRINGINGANOM-PG. OLEAN-PG. PANJI KETIGANYA DI SITUBONDO ) KARENA MERUGI DISEBABKAN TIDAK ADANYA LAHAN TEBU SUNGGUH DI LUAR NALAR….

FAKTUAL DI LAPANGAN PETANI TEBU DI WILAYAH PTPN XI JUSTRU MENGIRIM/MENSUPLAI TEBUNYA TIDAK KE PG-PG DI WILAYAH PTPN XI TETAPI PG-PG DIBAWAH DIREKSI PTPN X,RNI,SERTA PABRIK GULA SWASTA SEPERTI PG. CANDI, PG. KEBON AGUNG MALANG, PG. KREBET MALANG DIKARENAKAN PETANI MERASA LEBIH UNTUNG…TETAPI KALAU DIKIRIM KE PG-PG DIWILAYAH PTPN XI( 16 PG ) JUSTRU RUGI …PERBANDINGAN SAJA KALAU DIKIRIM KE PG-PG PTPN XI PEMASUKAN KOTOR 35 JUTA/ Ha KALAU DILUAR PTPN XI 55 JUTA/Ha….

JUMLAH TEBU YANG LARI KE LUAR WILAYAH PTPN XI DIPERKIRAKAN 1,5 SEBANYAK JUTA TON TEBU….

CONTOH SAJA PETANI JEMBER MENGIRIM TEBU KE PABRIK GULA KEDIRI YANG JAUHNYA 200 KM LEBIH PADAHAL DI JEMBER YANG JAUH NYA KURANG DARI 40 KM ADA PABRIK MILIK PTPN XI…..

APALAGI PETANI TEBU YANG ADA DI LUMAJANG,PROBOLINGGO, PASURUAN DAN MADIUN PASTI AKAN RAMAI-RAMAI TUH TIDAK KIRIM KE PG-PG PTPN XI….

LUASAN LAHAN TEBU DI WILAYAH KERJA YANG TIDAK DIKIRIM KE PTPN XI, BONDOWOSO 500 HA, SITUBONDO 300 HA, JEMBER 3500 HA, LUMAJANG 10.000 HA, PROBOLINGGO 2000 HA, PASURUAN 2000 H, MADIUN 3000 HA….

SEKARANG PERSOALANNYA ADALAH KENAPA DIREKSI PTPN XI MENGAKU RUGI SEDANG PETANI DIWILAYAH PTPN XI KALAU MENGIRIM TEBU KE PABRIK GULA PTPN XI RUGI JUGA….LALU SIAPA YANG UNTUNG DAN DIUNTUNGKAN????…

INI BIANG KELADINYA ADA DI MANAJEMEN DIREKSI PTPN XI YANG TIDAK PROFESIONAL DAN ADA MAKSUD-MAKSUD TERTENTU…KITA MENDUGA DIREKSI MEMBAWA KEPENTINGAN KAPITAL BESAR ALIAS PEMBURU RENTE……INI YANG HARUS DIKUAK DAN DIBONGKAR…..



3 NOVEMBER 2010

M. ALI FIKRI, SP. PELAKSANA HARIAN PPTR PTPN XI/ KETUA UMUM PPTR JEMBER.

Rabu, 20 Oktober 2010

PIDATO BUNG KARNO 1 JUNI 1945 (SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA)

Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

Maaf beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan di dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah – dalam bahasa Belanda – Philosofische grondslag (dasar filosofi-Ed.) dari Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka Tuan Ketua yang mulia. Tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada Tuan-Tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
“Merdeka” buat saya adalah political independence, politieke onafhankelijkheid (kemerdekaan politik, dalam bahasa Inggris dan Belanda-Ed.). Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini – zwaarwichtig (seolah-olah amat berat, dalam bahasa Belanda-Ed.) akan perkara-perkara kecil. Zwaarwichtig sampai – kata orang Jawa – jelimet (dengan teliti, rinci dan lengkap, dalam bahasa Jawa-Ed.). Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.

Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah bedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet, maka saya bertanya kepada Tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80 persen dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkalah Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka!

Lihatlah pula – jikalau Tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat – Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia adal rakyat Musyik (golongan yang percaya adanya Tuhan, tetapi tak menganut suatu agama-Ed.) yang lebih dari 80 persen tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo (Kepala Kantor Tata Usaha untuk Lembaga Tinggi, dalam bahasa Jepang, yang berada di bawah pemerintah militer Jepang untuk mengurus persiapan sidang-sidang BPUPKI-Ed.)! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuany! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka… sampai di lubang kubur!
(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Maka di dalam risalah tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhkelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam – in one night only – kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyadh dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan Ibn Saud, maka di seberang jembatan – artinya kemudian dari pada itu – Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade (suku yang berpindah-pindah tempat, atau pengembara, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah lagi oleh Ibn Saud menjadi kaum tani – semuanya di seberang jembatan.

Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka telah mempunyai Dneprprostoff, dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyiai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia tel mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche (tempat penitipan bayi dan anak-anak pada waktu orangtua bekerja-Ed.), baru mengadakan Dneprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan sekalian, janganlah Tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-tuan punya semangat – jikalau Tuan-tuan demikian – dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasra Indonesia Merdeka sekarang!
(Tepuk tangan-riuh)

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semoboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan-riuh)

Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar-hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar!

Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon (Kekaisaran Jepang Raya-Ed.) untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseik-kan (Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang-Ed.) diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo (Kepala Departemen Urusan Umum-Ed.) diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo (Kepala Departemen-Ed.) diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid – in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milsiyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon, sekarang menyerahkan urusan negara kepada Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke rumiyin – tunggu dulu – minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)

Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain, tentang isinya. Tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis (tuntutan minimum, dalam bahasa Belanda-Ed.). Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, Saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka.
(Tepuk tangan riuh)

Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji 500 gulden. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul (memantul, dalam bahasa Jawa-Ed.), sudah mempunyai meja-kursi yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet (pakaian untuk anak-anak, dalam bahasa Belanda-Ed.), barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat – yaitu meja makan, lantas satu zitje (tempat duduk untuk bersantai, dalam bahasa Belanda-Ed.) – lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu Saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengans satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk (jurutulis, dalam bahasa Belanda-Ed.) dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: Kawin.
Sang Ndoro (atau Bandoro, berarti majikan atau tuan, dalam bahasa Jawa-Ed.) yang mempunyai rumah gedung, electrische-kookplaat (alat masak listrik, dalam bahasa Belanda-Ed.), tempat tidur, uang bertimbun-timbun: Kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig (berbahagia, dalam bahasa Belanda-Ed.), belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, Saudara-saudara!
(Tepuk tangan dan tertawa)
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver (peralatan makan dari perak, dalam bahasa Belanda-Ed.) satu kaset plus kinder-uitzet – buat 3 tahun lamanya!
(Tertawa)

Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: Kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence… saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka!
(Tepuk tangan riuh)

Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu. Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu per satu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata, kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerudeem (penyakit busung lapar, dalam bahasa Belanda-Ed.), banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.”

Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyatukan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan – jembatan emas – inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.

Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht – hukum internasional – menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko (macam-macam, dalam bahasa Jawa-Ed.), yang jelimet. Tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, Saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara lain yang merdeka, itulah yang sudah bernama: Merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya – sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak?
(Jawab hadirin: Mau!)

Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal “dasar”.
Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag, atau – jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk – Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu Weltanschauung (pandangan hidup, dalam bahasa Jerman-Ed.), di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas national sozialistische Weltanschauung – filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu Weltanschauung, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu Weltanschauung, yaitu yang dinamakan Tenno Koodoo Seishin. Di atas Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas suatu Weltanschauung – bahkan di atas satu dasar agama – yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja mati-matian untuk me-realiteit-kan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed, “Sovyet-Rusia didirikan dalam 10 hari oleh Lenin cs.” – Reed di dalam kitabnya Ten days that shook the world, Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia… walaupun Lenin mendirikan Rusia dalam 10 hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia Weltanschauung-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas Weltanschauung yang sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan.

Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum tahun 1917, Weltanschauung itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudan, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed… hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruh kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?

Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini – Weltanschauung ini – dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885 – kalau saya tidak salah – dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The Three People’s Principles, San Min Chu I – Mintsu, Minchuan, Min Sheng: Nasionalisme, demokrasi, sosialisme – telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas Weltanschauung apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah? San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan – macam-macam – tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadi-Koesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencarai persatuan philosofische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi “setuju”! Yang Saudara yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?

Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918… ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan.
Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia.

Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara-saudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat (negara nasional, dalam bahasa Belanda-Ed.), seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan (Ernest Renan, pemikir orientalis Perancis-Ed.), syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: le desir d’etre ensemble, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain – yaitu definisi Otto Bauer (pemikir dan teoritikus Partai Sosial Demokrat Austria-Ed.) – di dalam bukunya, Die Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: Was ist eine Nation? Dan dijawabnya ialah: Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft (bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib-Ed.). Inilah menurut Otto Bauer satu natie.

Tetapi kemarin pun, tatkala – kalau tidak salah – Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr.Yamin berkata: Verouderd! Sudah tua! Memang Tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah verouderd, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan geo-politik.

Kemarin – kalau tidak salah – Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan Gemeinschaft-nya (persamaan atau persatuannya, dalam bahasa Jerman-Ed.) dan perasaan orangnya, l’ame et le desir (jiwa dan kehendaknya, dalam bahasa Perancis-Ed.) Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun – jikalau ia melihat peta dunia – ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikan pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.

Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daeraha Yunani yang lain-lain – segenap kepulauan Yunani – adalah satu kesatuan.

Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat – antara rakyat dan buminya – maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d’etre ensemble, tidak cukup definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft itu.

Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 milyun.Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun haya satu bagian kecil dari satu kesatuan.

Pendek kata, bangsa Indonesia – Natie Indonesia – bukanlah sekadar contoh satu golongan orang yang hidup dengan le desir d’etre ensemble di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara 70.000.000 ini sudah ada le desir d’etre ensemble, sudah terjadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
(Tepuk tangan hebat)

Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.

Saudara-saudara, jangan mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen (kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony-Ed.) adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermania-lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia-lah – yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pengunungan Alpen – adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi nationale staat.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Di luar itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram – meskipun merdeka – bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten – meskipun merdeka – bukan suatu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tua-tuan terima baik, marilah kita mengambil dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.

Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo (Wakil Ketua, maksudnya Soeroso-Ed.), Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan.”
(Liem Koen Hian menanggapi: “Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.”)
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitanisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitanisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid – perikemanusiaan!

Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun.” Itu terjadi pada tahun ‘17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu, tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat, sehormat-hormatnya, merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen – sampai masuk ke lobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)

Saudara-saudara! Tetapi… tetapi… memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan, ekstrem-Ed.), sehingga berpaham “Indonesia uber Alles (Indonesia di atas semua bangsa-Ed.).” Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity.”

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan Deutschland uber Alles. Tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru – bangsa Arya – yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-Tuan. Jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip yang kedua. Inilah philosofische princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup di dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2 – yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian – adalah bergandengan erat satu sama lain.

Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam – maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna – tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.

Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.

Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan hanya Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90 persen daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf beribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian – baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam – setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul, betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candaradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!
Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter (huruf, dalam bahasa Inggris-Ed.) di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya, sebagian besar dari utusan-utusan yang masukn badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play! (permainan yang jujur, dalam bahasa Inggris-Ed.). Tidak ada negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahu wa ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara prinsip nomor 3, yaitu prinspi permusyawaratan!

Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: Prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: Nationalism, Democracy, Sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire demoratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie (Revolusi Perancis, dalam bahasa Belanda-Ed.). Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah politieke demoratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid – tidak ada keadilan sosial, tak ada economische democratie sama sekali.

Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan politieke demoratie. “Di dalam parlementaire demoratie,” kata Jean Jaures, “tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”
Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister (menteri, dalam bahasa Belanda dan Inggris-Ed.). Ia seperti raja. Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja – di dalam pabrik – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar jalan raya, dibikin werloos (menganggur, dalam bahasa Belanda-Ed.), tidak dapat makan suatu apa.”

Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan bada permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid (keadilan politik dan keadilan sosial, dalam bahasa Belanda-Ed.).
Kita akan bicrakan hal ini bersama-sama, Saudara-Saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki vooronderstelt erfe-lijkheid (pewarisan yang sudah diketahui terlebih dahulu, dalam bahasa Belanda-Ed.). Turun-temurun. Saya orang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, janganlah anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya – dengan otomatis – menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu, saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin)

Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid (sifat dapat memahami pendapat yang lain, dalam bahasa Belanda-Ed.), tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini – sesuai dengan itu – menyatakan: Bahwa prinsip kelima dari Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!

Ingatlah prinsip ketiga – permufakatan, perwakilan – di situlah tempatnya ktai mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam (tidak sabar, memaksa, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: “Pendawa Lima.”)

Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip – kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan – lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa — namanya ialah Pancasila. Sila artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh)

Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme – kebangsaan dan perikemanusiaan – saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan Sosio-nasionalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische demoratie – yaitu politieke demoratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan – saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan Sosio-demokrasi.

Tinggal lagi Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indoesia buat Indoesia. Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)

“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah)

Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu.
Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, Saudarna-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia. Di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat-laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah SWT.

Berhubungan dengan itu – sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi – barangkali perlu diadakan noodmaat-regel (aturan darurat, dalam bahasa Belanda-Ed.), peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita.
Entah Saudara-saudara memufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membangun nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan – menjadi realiteit – jika tidak dengan perjuangan!
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
De Mensch – manusia – harus perjuangkan itu. Zonder (tanpa, dalam bahasa Belanda-Ed.) perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: Zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (hitam di atas putih, dalam bahasa Belanda-Ed.), tertulis di atas kertas, tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bansa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan!
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.
Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko – tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad: Merdeka! “Merdeka atau mati!”
(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap verschrikkelijk zwaarwichtig (seolah-olah sangat berat, dalam bahasa Belanda-Ed.) itu.
Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh-rendah dari segenap hadirin)
(Diambil dari Pancasila Bung Karno, Paksi Bhinneka Tunggal Ika, 2005).

Selasa, 12 Oktober 2010

Tolak Tambang Pasir Besi Paseban

Sehubungan dengan rencana eksploitasi tambang pasir besi oleh kuasa pertambangan PT. Agtika Dwi Sejahtra di Desa Paseban Kecanatan Kencong seluas 491,8 Ha, sebagaimana surat Disperindag Kabupaten Jember nomer 541.3/056/436.314/2008. bersama ini kami Lembaga Swadaya Masyarakat Mina Bahari beserta ribuan masyarakat menolak rencana eksploitasi tambang pasir besi, atas dasar sebagai berikut :

1. Sesuai undang undang nomer 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bagian keenam tentang larangan, pasal 35 (i) :Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung di larang : melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara tehnis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/ atau pencemaran lingkungan dan/ atau merugikan masyarakat sekitarnya

2. Undang undang nomer 26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) dan Peraturan Pemerintah nomer 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional merupakan pedoman dasar yang perlu di pahami secara seksama. Apa lagi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik Propensi maupun Kabupaten,bahwa daerah paseban sampai puger merupakan kawasan lindung.


3. Bahwa Desa Paseban kecamatan Kencong merupakan kawasan lindung yang wajib di jaga dan tidak boleh melakukan perubahan fungsi, karena kondisi giologis kawasan tersebut sangat rawan terhadap bencana terutama bencana Tsunami. Dan sekedar di ketahui bahwa bencana Tsunami pada tahun 1994, gumuk dan gundukan pasir di daerah tersebut dapat menghalau dan menghambat hantaman gelombang Tsunami, sehingga rakyat Desa paseban selamat dari ancaman Tsunami.

4. Akan mengancam kelestarian biota laut terutama penyu, karena disepanjang pantai paseban sampai pantai puger merupakan salah satu tempat bertelornya hewan yang bernama penyu.

5. Kegiatan eksploitasi tambang pasir besi dapat mengakibatkan dampak besar yakni terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala luas, sehingga mengancam kehidupan para nelayan dan petani.

6. Sepanjang pantai paseban sampai pantai puger merupakan konsevasi pesisir yang seharusnya di lindungi dan di lestarikan ekosistemnya guna menjamin keberadaan, ketersediaan dan keseimbangan sumber daya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan kwalitas nilai serta keanekaragamannya.

7. Bahwa rencana eksploitasi tambang pasir besi di Desa Paseban seluas 491.8 Ha oleh kuasa pertambangan PT. Agtika Dwi Sejahtra tidak memenuhi ketentuan sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah nomer 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomer 11 tahun 2006 mengenai jenis usaha atau kegiatan wajib AMDAL. Dan pada kenyataannya PT. Agtika Dwi Sejahtra selaku pemegang kuasa pertambangan pasir besi di Desa Paseban tidak membuat Analisa Mengenai Dampak Lingkuan (AMDAL)

Sehubungan dengan hal tersebut diatas demi mencegah bencana Tsunami yang setiap saat akan terjadi karena lempengan bumi selalu bergerak dan bergeser serta menjaga kelestarian ekosistem laut, kami Lembaga Swadaya Masyarakat Mina Bahari beserta ribuan masyarakat paseban meminta kepada Kepala Disperindag Kabupaten Jember :

a. Menghentikan segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh kuasa pertambangan PT. Agtika Dwi Sejahtra.
b. Mencabut izin eksploitasi kuasa pertambangan PT. Agtika Dwi Sejahtra.

Senin, 27 September 2010

PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN

Reformasi sebagai bagian dari pendalaman dan percepatan proses glo-balisasi di Indonesia membawa serta masuknya nilai-nilai universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia yang kemudian menguasai opini publik da¬lam atmosfir politik nasional. Wacana publik tentang demokrasi dan hak asasi manusia itu menjadi menonjol dan menenggelamkan wacana tentang Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang mewarnai “dunia bunyi-bunyian” pada masa Orde Baru. Lenyapnya Pancasila dari dunia tuturan sejak reformasi menimbulkan keprihatinan yang cukup dalam, baik dalam ka¬langan elite politik maupun masyarakat luas. Keprihatinan itu ditunjukkan melalui berbagai pernyataan di media massa maupun kegiatan-kegiatan lainnya seperti seminar, simposium, dan sarasehan mengenai Pancasila dan eksistensinya setelah reformasi. Bahkan Lembaga Ketahaman Nasional (Lem¬hanas) telah membentuk deputi khusus untuk menangani masalah “makin menipisnya kesadaran dan penghayatan akan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa”.

FENOMENA GLOBALISASI
Globalisasi adalah proses memudar atau menghilangnya batas antar-negara menuju terbentuknya “desa mondial” dalam pergaulan hidup umat manusia, dengan berbagai implikasinya. Di bidang ekonomi, makin kita sadari bahwa uang tidak lagi mempunyai tanahair dan makin sulit bagi suatu negara untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang merdeka, karena secara faktual kegiatan ekonomi telah berada di luar batas teritorial negara. Di bidang ekologi, suatu negara tidak mungkin lagi mengabaikan tuntutan in¬ternasional atas masalah lingkungan hidup karena makin disadari bahwa kerusakan lingkungan di suatu wilayah akan berpengaruh di wilayah lainnya di muka bumi. Di bidang kebudayaan, suatu bangsa tidak mungkin lagi menghindarkan diri dari pengaruh peradaban global karena makin intensif¬nya interaksi antarbangsa melalui berbagai media komunikasi yang makin murah dan tersebar luas ke seluruh pelosok desa. Di bidang politik, makin berkurang kemampuan negara untuk mengontrol kepatuhan warganya kare¬na globalisasi bukan saja mengakibatkan internasionalisasi produksi barang dan jasa, melainkan juga internasionalisasi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, serta meningkatkan intensitas kontak dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses globalisasi.

Situasi yang digambarkan tadi sering kali menimbulkan situasi panas dingin yang diliputi ketegangan-ketegangan. Untuk mengatasi masalah ini diper¬lukan adap¬tasi dan inovasi pranata-pranata yang mendukung kehidupan ber¬masyarakat, berbangsa, dan bernegara agar secara elastis dapat menyi¬asati tantangan perubahan yang terjadi. Kegagalan dalam melakukan adaptasi dan inovasi pranata politik dan pranata ekonomi bukan saja akan menimbulkan kesulitan-kesulitan, melainkan juga mengandung resiko ter¬jadinya khaos dan kehancuran. Runtuhnya Orde Baru melalui reformasi be¬berapa tahun yang lalu adalah akibat kegagalannya untuk melakukan adap¬tasi dan inovasi pranata-pranata pendukungnya.

Proses globalisasi yang melanda suatu bangsa juga mempunyai keku-atan yang sangat dahsyat untuk membentuk kembali ideologi partai-partai dengan menyusupnya “globalisme” ke dalam ideologi asli mereka. Pemben-tukan kembali ideologi partai-partai ini akhirnya juga mendefinisikan ulang kesadaran para pemimpinnya. Oligarkhi yang terbangun dalam partai-partai itu lebih dekat dengan ideologi “globalisme” dan dengan mudah dapat me¬ma¬tahkan semangat perjuangan para pendukungnya yang kurang penga-laman dan kurang pendidikan.

ORDE REFORMASI DAN GLOBALISASI
Untuk meninjau lebih jauh pengaruh globalisasi terhadap masa depan Indonesia, perkenankan saya menyampaikan pandangan saya mengenai hakikat orde reformasi dibandingkan dengan Orde Baru. Dilihat dari kaca-mata ekspansi kapitalisme internasional, Orde Baru dan orde reformasi sebenar¬nya masih berada dalam satu perahu, meskipun berbeda keran¬jang, yaitu perahu yang akan membawa Indonesia terintegrasi lebih jauh ke dalam sistem kapitalisme internasional. Orde Baru dan orde reformasi lahir di tengah-tengah kekacauan eko¬nomi yang parah dan kemudian melakukan rehabilitasi ekonomi dengan dana pinjaman luar negeri berdasarkan resep-resep Dana Moneter Internasional (IMF). Keduanya menjalankan politik pintu terbuka, Orde Baru yang mendobrak pintunya dan orde reformasi melanjutkan prosesnya. Perbedaan penting antara politik pintu terbuka yang dijalankan oleh Orde Baru dan po¬litik pintu terbuka yang dijalankan oleh orde reformasi dapat dijelaskan sebagai berikut : politik pintu terbuka Orde Baru dimaksudkan untuk mengintegrasi¬kan Indonesia ke dalam kerangka kerja dunia bebas melawan komunisme, sedangkan politik pintu terbuka orde reformasi dimaksud¬kan untuk menginte¬grasikan Indonesia ke dalam masyarakat dunia paska perang dingin. Frasa dunia bebas dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk meng¬ga¬bungkan sekutu-sekutunya melawan komunisme selama perang dingin ; sedangkan frasa masyarakat dunia juga dipergunakan oleh Amerika Serikat un¬tuk menyatakan bahwa setelah usainya perang dingin hanya tinggal satu dunia, yaitu dunia yang dipimpin oleh Amerika Se¬rikat. Dalam kerangka kerja dunia bebas Amerika Serikat memberikan kebebasan kepada sekutu-sekutunya untuk memi¬lih sistem pemerintahan dan kebijaksanaan dalam negerinya sen¬diri, sedangkan dalam kerangka kerja masyarakat dunia sekutu-sekutunya itu harus menyesuaikan diri dengan “nilai-nilai universal” seperti pasar bebas, liberalisasi perdagang¬an, demokrasi, dan hak asasi manusia. Perubahan kebijakan Amerika Serikat ini mengikuti kecenderungan kapitalisme sebagai sistem dunia yang terus-menerus memperbesar keuntungannya melalui cara yang seefisien mungkin.

Melalui reformasi, ketidakpuasan rakyat dan kegelisahan elite politik diarahkan untuk berlangsungnya transisi politik dari kekuasaan militer ke pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Meskipun dalam reformasi sempat bergema semangat untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan, tetapi rezim yang terbentuk melalui pemilihan umum yang bebas dan demokratis itu justru memperdalam dan memperluas kebijakan pasar bebas yang sudah diperkenalkan oleh Orde Baru, melalui agenda privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi ekonomi di mana-mana. Hal ini terjadi karena intervensi lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang didukung oleh kepentingan oligarkhi, baik oligarkhi dalam birokrasi negara maupun oligarkhi dalam kepemimpinan partai-partai.


PANCASILA DAN GLOBALISASI
Dalam konteks seperti yang digambarkan di atas, globalisasi sebagai proyek ideologis kapitalime internasional untuk mem¬¬per¬¬luas kekuasaannya atas negara berdaulat haruslah diwaspadai sebagai musuh utama Pancasila saat ini. Usahanya yang gencar untuk terus memperlemah peran negara melalui agenda privati¬sasi, liberalisasi, dan deregulai ekonomi di mana-mana serta kampanye besar-besaran mengenai pasar bebas adalah merupakan tantangan yang sangat nyata terhadap Pancasila. Melawan pandangan liberal yang berusaha meyakinkan umat manusia bahwa pasar dengan sendirinya akan dapat memecahkan semua persoalan masyarakat, Panca¬sila justru menghendaki peranan aktif negara untuk membuat regulasi yang efektif atas kapital (asing maupun domestik) untuk melindungi kepentingan rakyat dan mewujudkan keadilan so¬sial. Pancasila menghendaki dicegahnya free fight competition and survival of the fittest yang akan menghancurkan perusahaan-perusahaan yang lemah melalui sentralisasi kapital pada perusahaan-perusahaan transnasional.

Pembelaan kita terhadap peranan negara untuk memperkuat kontrol sosial terhadap kapital tidak berlaku untuk negara yang dikuasai oleh koruptor dan pemburu rente. Prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak rezim yang korup hanya akan menggunakan negara sebagai alat struktural dan instrumental segelintir kelas penguasa untuk memperkaya diri dan mem¬pertahankan hak-hak istimewanya. Negara yang kita bela adalah negara yang secara cerdas dapat mengimplementasikan Pancasila di tengah-tengah gelombang globalisasi, melalui regulasi yang kompeten untuk melindungi rakyat Indonesia dari gempuran free fight liberalism.

Globalisasi telah digunakan sebagai ideologi untuk membenarkan berkembangnya ketidakadilan sosial, polarisasi sosial yang lebih besar, dan beralihnya sumber daya yang dimiliki negara ke kapital. Globalisasi mem-berikan rasionalisasi ideologis tumbuhnya ketidakadilan sosial yang secara diametral berlawanan dengan Pancasila yang menghendaki terwujudnya ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perkembangan global memang me¬¬mak¬sa kita untuk mengakui bah¬wa pasar adalah pusat kegiatan dan kemajuan ekonomi, tetapi pengalam¬an bangsa-bangsa di dunia juga menunjukkan bahwa pemerintah tetap memiliki peranan penting, bukan saja untuk menciptakan pemerataan yang lebih baik, tetapi juga untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Catatan statis¬tik me¬nunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat pemerataan pendapatan yang lebih lebih baik, pada tingkat pendapatan per kapita yang sama, akan me¬ngalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.


PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indo-nesia (BPUPKI), yang kemudian dikenal sebagai Lahirnya Pancasila. Dalam pidato tersebut Bung Karno mengusulkan Pancasila menjadi dasar negara In¬donesia merdeka, atau dalam istilah beliau sendiri “dasar-dasar”, “philoso¬phische grondslag”, “Weltanschauung” di atas mana didirikan ne-gara Indo¬nesia. Atau mengutip dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Badan itu, dalam kata pengantar buku Lahirnya Pancasila, merupakan “suatu Beginsel yang menjadi dasar negara kita, yang menjadi Rechtideologie negara kita, suatu beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno”.

Pancasila sebagai dasar negara mempunyai akar langsung pada kehen¬dak sejarah bangsa Indonesia sendiri, yang diterima sebagai konsensus atau keputusan politik yang diambil oleh para pendiri negara. Mengapa founding fathers negara Republik Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya negara ? Kalau kita ikuti “suasana keba¬tinan” yang terungkap dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers kita berupaya dengan semangat yang gigih untuk menetapkan dasar negara yang dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan me¬ne¬rima Pancasila sebagai dasar negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing. Pancasila diterima sebagai dasar negara karena nilai-nilai yang ter¬kandung di dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa. Atau dengan kata lain, prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Panca¬sila itu mengungkap¬kan pendirian dan pandangan hidup bersama bang¬sa Indonesia.
Cita-cita moral bangsa atau pendirian dan pandangan hidup bangsa adalah konstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi atau perintah moral bagi bangsa tersebut untuk mencapai cita-cita yang diinginkan bersa-ma. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi se-bagai “bintang penuntun” untuk tercapainya cita-cita bersama. Meskipun Leitsteren itu merupakan titik akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin di-capai sepenuhnya, tetapi Leitsteren itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji atau melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya, serta menjadi pedoman dalam mengambil keputusan praktis atas problematik yang dihadapi.


MEMBASISKAN PANCASILA
Masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma da¬sar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penye-leng¬gara kekuasaan negara memang benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pancasila. Kontrol masyarakat terha-dap pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sangat di-perlukan agar praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan ne¬gara selalu mencerminkan norma dasar Pancasila itu. Kontrol masyarakat itu perlu untuk mencegah para pemburu rente menggunakan negara sebagai alat untuk memperkaya diri di tengah-tengah arus globalisasi (yang sarat dengan kepentingan ekspansi kapitalime global) yang melanda Indonesia sekarang ini.

Untuk memperkokoh eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita moral bangsa perlu dilancarkan gerakan untuk membasiskan Panca¬sila. Gerakan ini didasarkan pada adagium bahwa ketahanan ideologi suatu bangsa terletak pada kekuatan sosial yang mendukungnya. Dengan gerakan pembasisan ini, kita mengajak masyarakat untuk memperkokoh konsensus nasional tentang Pancasila sebagai dasar negara, memahami dan menghayati imple¬mentasi Pancasila di tengah-tengah arus globalisasi, dan membiasakan diri untuk menggunakan Pancasila sebagai “bintang penuntun” dalam menyele¬saikan masalah bangsa di tengah-tengah arus globalisasi. Pembasisan Pancasila bukanlah sekedar transfer of knowledge, melainkan harus merupakan usaha raksasa untuk membangun kembali ethos kebangsa¬an, seperti yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa pergerak¬an kemerdekaan dulu.

Pemberdayaan Masyarakat Desa

Di Indonesia, ada pegeseran menarik dalam hal wacana, paradigma dan kebijakan pembangunan, yakni dari pembangunan ke pemberdayaan. Tepatnya pembangunan desa terpadu pada tahun 1970-an, bergeser menjadi pembangunan masyarakat desa pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, kemudian bergeser lagi menjadi pemberdayaan masyarakat (desa) mulai akhir 1990-an hingga sekarang. Kini, dalam konteks reformasi, demokratisasi dan desentralisasi, wacana pemberdayaan mempunyai gaung luas dan populer.

Gagasan pemberdayaan berangkat dari realitas obyektif yang merujuk pada kondisi struktural yang timpang dari sisi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya masyarakat (Margot Breton, 1994). Pemberdayaan sebenarnya merupakan sebuah alternatif pembangunan yang sebelumnya dirumuskan menurut cara pandang developmentalisme (modernisasi).

Pada intinya, paradigma lama (pembangunan) lebih berorientasi pada negara dan modal sementara paradigma baru (pemberdayaan) lebih terfokus pada masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara partisipatif. Modal adalah segala-galanya yang harus dipupuk terus meski harus ditopang dengan pengelolaan politik secara otoritarian dan sentralistik. Sebaliknya, pemberdayaan adalah pembangunan yang dibuat secara demokratis, desentralistik dan partisipatoris. Masyarakat menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan menikmati pembangunan. Negara adalah fasilitator dan membuka ruang yang kondusif bagi tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan institusi lokal.

Pemberdayaan dipahami sangat berbeda menurut cara pandang orang maupun konteks kelembagaan, politik, dan sosial-budayanya. Ada yang memahami pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Ada pula pihak lain yang menegaskan bahwa pemberdayaan adalah proses memfasilitasi warga masyarakat secara bersama-sama pada sebuah kepentingan bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan sumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan oleh karena itu membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas.

Memahami pemberdayaan (masyarakat desa) dengan beberapa cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas

mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan.

Kedua, pemberdayaan secara prinsipil berurusan dengan upaya memenuhi kebutuhan (needs) masyarakat. Banyak orang berargumen bahwa masyarakat akar rumput sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal yang utopis (ngayawara) seperti demokrasi, desentralisasi, good governance, otonomi daerah, masyarakat sipil, dan seterusnya. “Apa betul masyarakat desa butuh demokrasi dan otonomi desa? Saya yakin betul, masyarakat itu hanya butuh pemenuhan sandang, pangan dan papan (SPP). Ini yang paling dasar. Tidak ada gunanya bicara demokrasi kalau rakyat masih miskin”, demikian tutur seseorang yang mengaku sering berinteraksi dengan warga desa. Pendapat ini masuk akal, tetapi sangat dangkal. Mungkin kebutuhan SPP itu akan selesai kalau terdapat uang yang banyak. Tetapi persoalannya sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat itu sangat langka (scarcity) dan terbatas (constrain). Masyarakat tidak mudah bisa akses pada sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan SPP. Karena itu, pemberdayaan adalah sebuah upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah-tengah kelangkaan dan keterbatasan sumberdaya. Bagaimanapun juga berbagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan ada problem struktural (ketimpangan, eksploitasi, dominasi, hegemoni, dll) yang menimbulkan pembagian sumberdaya secara tidak merata. Dari sisi negara, dibutuhkan kebijakan dan program yang memadai, canggih, pro-rakyat miskin untuk mengelola sumberdaya yang terbatas itu. Dari sisi masyarakat, seperti akan saya elaborasi kemudian, membutuhkan partisipasi (voice, akses, ownership dan kontrol) dalam proses kebijakan dan pengelolaan sumberdaya.

Masih ada beberapa hal yang perlu dibicarakan mengenai pemberdayaan masyarakat desa, seperti dari sisi proses, dimana masyarakat desa sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar, dan meraih kedaulatan. Hal ini membutuhkan kehadiran pihak luar, yang melakukan intervensi. Hadirnya pihak luar (pemerintah, LSM, organisasi masyarakat sipil, organisasi agama, perguruan tinggi, dan lain-lain) ke komunitas bukanlah mendikte, menggurui, atau menentukan, melainkan bertindak sebagai fasilitator (katalisator) yang memudahkan, menggerakkan, mengorganisir, menghubungkan, memberi ruang, mendorong, membangkitkan dan seterusnya. Hubungan antara komunitas dengan pihak luar itu bersifat setara, saling percaya, saling menghormati, terbuka, serta saling belajar untuk tumbuh berkembang secara bersama-sama.

Minggu, 26 September 2010

Harapan dari putra Desa

Dalam rangka menyukseskan penyelenggaraan Pemerentahan Daerah yang sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pemerentah Pusat telah mengambil langkah yang sangat menggembirakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerentah Daerah. Kewenangan yang sebelumnya terpusat kini Pemerentah Daerah diberi kewengan seluas-luasnya untuk mengelola dan mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerentahan menurut azaz otonomi dan tugas pembantuan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Selanjutnya terkait dengan pelaksanaan Otonomi Daerah Undang-Undang juga mengakui otonomi yang dimiliki oleh Desa/Kelurahan. Sebagai unit Pemerentahan terdepan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, dalam perwujudan demokrasi penyelenggaraan Pemerentahan Desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang bertugas sebagai Lembaga pengawasan dalam penyelenggaraan Pemerentahan Desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepaladesa.

Oleh karenanya agar dalam pelaksanaannya berjalan dengan baik, maka sudah semestinya harus diberikan arahan dan bimbingan, pelatihan, supervisi, koordinasi pemantauan dan evaluasi serta partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan ini, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. Sehingga tugas pokok antara Pemerentah Desa dan BPD dapat berjalan sesuai dengan kewenangann

Jumat, 24 September 2010

Dari putra nelayan untuk seorang Bupati Jember

Berdasarkan staatblat ondistrict Kabupaten Jember-Jawa Timur didirikan pada tanggal 1 Januari 1929 dan merupakan pengembangan karesidenan Besuki yang meliputi ; Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso serta Besuki sendiri. Berdirinya Jember sebagai daerah baru tidak lepas dari pesatnya perkembangan perkebunan swasta yang dibuka pada pertengahan abad 19. Dalam perkembangan selanjutnya, ondistrict Jember meninggalkan daerah induknya. Sehingga saat ini, Jember menjadi pusat ekonomi, sosial dan politik di Timur pulau Jawa. Wilayah Jember merupakan tanah yang subur di kelilingi pegunungan dan bentang alam berbukit-bukit, tanah Jember merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan maupun pengembangan pertanian.

Kabupaten Jember memiliki luas 3.239,34 kilometer persegi yang terbagi dalam 31 kecamatan. Batas Wilayah Kab Jember antara lain :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lumajang

Secara umum terdiri dari beberapa karakteristik wilayah berbeda yang telah menjadikan Jember sebagai tempat yang kaya atas sumber daya alam hayati. Selain pertanian dan perkebunan, potensi sumber daya alam bidang kehutanan dan kelautan menjadikan mata pencaharian utama masyarakat Jember. Setidaknya terdapat beberapa kawasan penting perlindungan biodiversitas antara lain Taman Nasional Meru Betiri, Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang (G. Argopuro), Cagar Alam Curah Manis Sempolan, Hutan Lindung Baban Silosanen , Cagar Alam Watangan Puger, Cagar Alam Nusa Barong.
Tanah yang subur menarik George Birnie, seorang Belanda, untuk membuka lahan penanaman besar-besaran tembakau Na Oogst (NO) pada 1858. Sebagai pemilik kapital, Birnie segera mengajukan ijin kepada pemerintah Hindia Belanda guna membuka Onderneeming (perusahaan perkebunan) tembakau di daerah Jenggawah (saat ini secara administratif terbagi menjadi tiga kecamatan yaitu kecamatan Jenggawah, kecamatan Rambipuji dan kecamatan Ajung, sembilan desa dan 36 padukuhan). Baru pada tahun 1870 melalui Agrarische Besluit (AB), Birnie mendapat hak erpacht atau hak sewa untuk perkebunan tembakau selama 75 tahun. Sedangkan pengelolaannya dipegang oleh badan hukum milik pemerintah yaitu Landbouw Matschappij Oud DJember (NV. LMOD). Perusahaan perkebunan partikelir, terutama dengan usaha tembakau memang telah menjadi “emas hijau” bagi pemodal.
Awal abad 19, wilayah Jember terutama wilayah hamparan dan pegunungan telah mengenal dan dihidupi oleh sistem perkebunan. Maka, sebagaimana wilayah lain di Indonesia, industri perkebunan tumbuh di Jember, ditandai adanya tenaga kerja (buruh), sistim pengupahan yang tetap dan periodik, juga adanya kaum terdidik dan pemodal . Keadaan ini berdampak pada munculnya sistem sosial yang berlapis didalam masyarakat perkebunan di Jember. Sehingga mendorong penggunaan otoritas kekuasaan pemodal terhadap para buruh perkebunan tersebut. Dalam lingkup kekuasaan penguasaan perkebunan yang relatif tertutup, jauh dari interaksi dengan masyarakat luas, kultur buruh perkebunan yang inferior menjadikan penguasa perkebunan sangat feodal. Nampak pada angka kemiskinan di Jember terbesar terjadi di desa-desa sekitar perkebunan. Ini diwakili oleh sekitar 29.734 KK yang dari data PODES BPS 2006. Pemiskinan ini merupakan penyumbang pengerdilan peran perempuan di berbagai bidang. Kemudian untuk mengembalikan martabat dan harkat masyarakat pada umumnya, khususnya kaum perempuan pedesaan di Jember perlu diadakan berbagai kegiatan.

Sementara wilayah Jember dibagian selatan, merupakan lingkungan pesisir pantai selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudra Indonesia. Masyarakat pesisir pantai selatan Jember sebagian besar menggatungkan hidupnya di sektor kelautan, meskipun ada sebagian yang masih menggarap lahan pertanian. Tapi keberadaan laut luas bagi masyarakat pesisir merupakan matapencaharian hidup utama, baik sebagai nelayan, usaha kelautan maupun barang dan jasa disektor ini.
Keadaan pesisir selatan Jawa berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh LSM Mina Bahari dan pecinta alam yang konsen di pesisir laut selatan Jawa, arus perairan dan ekologi perairan di wilayah laut selatan terutama karang tempat berkumpulnya ikan karang (kerapu) rusak, dan rumpon-rumpon yang pernah dipasang sudah tidak memadai sebagai media pembangun ekologis ikan kerapu dan ikan karang lainnya rusak. Wilayah tangkap di sekitar Cagar Alam Nusa Barung, terdapat banyak terumbu karang yang rusak, rumpon buatan nelayan pun banyak yang sudah tidak memenuhi syarat mengumpulnya ikan-ikan karang. Hutan mangrove yang mulai punah, membuat biota laut dan ekosistem pesisirnya kurang begitu nyaman dalam melakukan pembiakan maupun berlindung ketika arus kuat menyapu sekitar laut dangkal disekitar cagar alam Nusa barung tersebut.
Kurangnya wilayah tangkap semakin sempit, ditambah lagi persoalan kondisi fisik jukung nelayan yang semakin hari semakin parah. Apalagi dimusim-musim sepi ikan (laip), banyak jukung kayu nelayan yang sandar terlalu lama, sampai kayu dasar penyangga jukung dikeroposi oleh “kapang” atau istilah lainnya tumbelo (irian). Sehingga tidak mendukung nelayan melaut untuk mendapatkan ikan yang cukup dalam setiap harinya. Bahwa kondisi perahu harus direnovasi dan biasanya memakan waktu, dan untuk mendapatkan kayu dengan kualitas baikpun semakin mahal dan susah memperolehnya. Dalam prakteknya pemanfaat utama hasil log (kayu balok) dari kegiatan illegal logging adalah nelayan pancing yang menggunakan jukung. Melihat kondisi hutan yang semakin tidak mendukung produksi kayunya (illegal logging) semakin memperburuk kinerja nelayan. Hasil hutan log kayu besar biasanya balok kayu suren, bendo, ganggangan, kenitu, manting dan jati yang sekarang makin sulit di dapatkan di hutan sekitar kita. Lokasi cagar alam Watangan Puger adalah wilayah yang paling dekat dengan pemenuhan kebutuhan log kayu atau di sekitar Taman Nasional Meru Betiri, sehingga semakin gundul hutan diwilayah ini.

Selama ini belum ada program yang fokus terhadap kepentingan nelayan tersebut. Mungkin memang fokus tugas pokok dan kerja dari lembaga teknis seperti Dinas Peternakan dan Perikanan kabupaten Jember yang masih bias, apakah harus memprioritaskan program daerah ataukah justru melaksanakan program pusat Departemen Kelautan dan Perikanan. Di lapangan yang terjadi tetap saja belum ada prioritas kerja dalam pengelolaan potensi kelautan dan perikanan utamanya yang menyangkut peningkatan potensi penghasilan nelayan. Masyarakat nelayan yang cenderung egaliter, hampir tidak pernah mengeluh atau bahkan mengadakan perlawanan terhadap sistem. Karena masyarakat nelayan lebih meyakini bahwa laut masih mampu memberi mereka rejeki yang berlimpah untuk kepentingan hidup keluarganya. Laut yang tak terbatas bagi mereka merupakan berkah yang tiada matinya. Sehingga ketergantungan hidup nelayan yaitu laut, maka jika melaut mulai terjadi hambatan-hambatan maka semakin lama profesi nelayan semakin ditinggalkan masyarakat pesisir. Untuk itulah program pemerintah diharapkan mampu menjadi alternatif solusi sebagai pemecahan masalah di masyarakat nelayan.

Jumat, 17 September 2010

"PRESIDEN KEBAL HUKUM"

Peristiwa open hause Presiden Susilo Bambang Yudoyono di istana yang mengakibatkan meninggalnya seorang tuna netra pak Joni Malela 45 tahun asal Manado Sulawesi Utara yang di dampingi istri tercintanya. Kejadian tersebut sungguh memalukan, acara sekelas Presiden dapat mengakibatkan korban jiwa,aneh bein ajaib.

Dan yang lebih ajaib lagi Presiden Susilo Bambang Yudono hanya terkejut dan prihatin dengan di kompensasi bantuan uang senilai Rp 10.000.000. tanpa ada rasa tanggung jawab secara hukum, lucu...ya memang lucu karena tak sesuai dengan apa yang beliau ucapkan : "hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu" padahal insiden tersebut jelas jelas mengakibatkan hilangnya nyawa sesorang, apakah Presiden lupa dengan ucapannya atau tidak mengerti kalau insiden tersebut sangat berkaitan dengan hukum.
Sunyi, senyap, bungkam, diam seribu bahasa, tak ada yang berteriak dan bertindak mulai dari praktisi sampai pelaksana penegak hukum, apa mereka tidur atau takut dan atau tidak menarik karena yang jadi korban hanya seorang hamba gembel miskin tuna netra lagi, sehingga cukup diberi kompensasi bantuan senilai Rp. 10.000.000. tragis satu nyawa hanya dihargai Rp. 10.000.000. tanpa ada proses hukum. he he he ternyata petinggi negeri ini "Kebal Hukm" apa kata dunia...??? kapan keadilan bisa di tegakan kalau hukum hanya berlaku untuk orang kecil...? kapan hukum jadi panglima di negeri ini...?

Sebenarnya peristiwa meninggalnya pak Joni Malela pada acara open hause menantang POLRI, berani nggak mengusut kejadian tersebut karena peristiwa itu merupakan tindak pidana murni, hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab undang undang pidana pada BAB XXIV Tindak pidana yang mengakibatkan mati atau luka karena kealpaan pasal 591 :

1. Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan mengjalankan jabatan,profesi atau mata pencaharian selama waktu tertentu, di pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

2. Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka berat, di pidana paling lama 3 tahun, atau pidana denda paling banyak kategori IV.

3.Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang lain, di pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori IV.

Pasal 592 :
1. Jika tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 591 dilakukan dalam menjalnkan suatu jabatan atau profesi, maka pidanya ditambah 1/3.

2. Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat juga di jatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 ayat 1 huruf c dan pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 ayat 1 huruf g.

Nah jelas to apa yang terjadi di acara open hause Persiden Susilo Bambang Yodoyono di akibatkan karena kelalaian atau kealpaan sehingga mengakibatkan matinya orang lain. ini bukan delik aduan, justru delik pidana murni yang harus di usut tuntas oleh POLRI, tapi kenyataannya memble...memble...membke....

Tulisan ini bukan kami bermaksud meminter atau menggurui, tapi dari sanubari yang sangat dalam, bahwa ada sebuah peristiwa yang sangat memalukan dan kebetulan peristiwa tersebut terjadi pada acara open hause Presiden, melalui tulisan ini semoga Kepolisian Republik Indonesia membuka mata dan mau mengusut tuntas tak peduli siapa yang punya acara, dan semoga pula para praktisi hukum ada yang berani mengungkap kejadian tersebut.

Memang peristiwa tersebut kelihatannya sepele, tapi ini soal hukum, ini soal hilangnya nyawa seseorang yang sangat perlu mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Semoga hukum benar benar jadi panglima, sehingga keadilan benar benar tercipta di negeri yang kita cintai ini. Amin.

Jumat, 09 April 2010

PERIKANAN

Sejuta harapan bagiku sebagai putra nelayan semoga dengan terpilihnya Bupati Jember tahun 2010 benar benar dapat memperhatikan sektor perikanan, baik dari segi pemberdayaan maupun dalam bentuk pembangunan infra strutur perikanan.

Pemberdayaan kaum nelayan merupakan suatu keharusan agar supaya kaum nelayan dapat mandiri serta mampu bersaingan dalam berbagai hal, baik dari segi produktifitas maupun kwalitas hasil tangkapan, dengan mengacu pada perkembangan tehnologi alat tangkap.

Pembangunan infra struktur perikanan merupakan salah satu faktor penting dalam menopang peningkatan kwlitas ikan, terutama ikan ikan komoditas ekspot, seperti tuna,bawal,kerapu dan udang barong, sehingga hal tersebut dapat menarik para investot untuk datang ke Puger.

Dulu sejitar tahun 1987 para investor manca negara terutama jepang banyak datang ke puger untuk melihat ikan tuna hasil tangkapan nelayan bahkan mereka sampai sewa rumah, mereka bekerja sama dengan kelompok untuk melakukan pembinaan pengelolaan hasil tangkapan, tapi karena armada yang digunakan oleh nelayan berupa jukung, tetap aja hasilnya tidak maksimal.

Saatnyalah untuk bupati yang akan datang mengembangkan sektor perikanan, karena nelayan merupakan aset yang cukup dominan dalam menumbuhkan perekonomian di kabupaten jember kalau benar benar ditangani secara serius. Sehubungan dengan hal itu kami menaruh sebuah harapan besarpada bupati yang akan datang, agar sektor perikanan di jadikan program andal

ingat...ingat...nenek moyangku seorang pelaut

Program Konsolidasi tanah bermasalah

Program pemberian tanah gratis (land consolidatioan bagi masyarakat nelayan miskin di Kecamatan Puger Kabupaten Jember bermasalah, hal tersebut di akibatkan pendataan calon penerima tidak di verifikasi dengan cermat, sehingga banyak penerima yang seharusnya tidak layak menerima justru dapat bagian.
Akibat dari ketidak cematan dan asal asalan dalam pendataan calon penerima, mayoritas penerima program land consolidatian jatuh pada orang orang yang ekonominya mampu. Dari 700 bidang dengan luas per bidang 108 m2 untuk 700 kepala keluarga nelayan miskin, hanya 180 KK yang layak menerima dan 580 KK tidak layak, bahkan sekitar 39 orang menerima lebih dari satu bidang.
Banyaknya penrima yang tidak layak menimbulkan pertanyaan dan sorotan dari berbagai kalangan, bahwa pelaksanaan program tersebut sarat dengan permainan dan manipulasi serta di duga terjadi"transaksi".
Oleh karenanya kalngan aktivis dan tokoh masyarakat meminta pada pihak pihak terkait untuk segera melakukan verifikasi ulang.