Total Tayangan Halaman

Senin, 27 September 2010

PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN

Reformasi sebagai bagian dari pendalaman dan percepatan proses glo-balisasi di Indonesia membawa serta masuknya nilai-nilai universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia yang kemudian menguasai opini publik da¬lam atmosfir politik nasional. Wacana publik tentang demokrasi dan hak asasi manusia itu menjadi menonjol dan menenggelamkan wacana tentang Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang mewarnai “dunia bunyi-bunyian” pada masa Orde Baru. Lenyapnya Pancasila dari dunia tuturan sejak reformasi menimbulkan keprihatinan yang cukup dalam, baik dalam ka¬langan elite politik maupun masyarakat luas. Keprihatinan itu ditunjukkan melalui berbagai pernyataan di media massa maupun kegiatan-kegiatan lainnya seperti seminar, simposium, dan sarasehan mengenai Pancasila dan eksistensinya setelah reformasi. Bahkan Lembaga Ketahaman Nasional (Lem¬hanas) telah membentuk deputi khusus untuk menangani masalah “makin menipisnya kesadaran dan penghayatan akan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa”.

FENOMENA GLOBALISASI
Globalisasi adalah proses memudar atau menghilangnya batas antar-negara menuju terbentuknya “desa mondial” dalam pergaulan hidup umat manusia, dengan berbagai implikasinya. Di bidang ekonomi, makin kita sadari bahwa uang tidak lagi mempunyai tanahair dan makin sulit bagi suatu negara untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang merdeka, karena secara faktual kegiatan ekonomi telah berada di luar batas teritorial negara. Di bidang ekologi, suatu negara tidak mungkin lagi mengabaikan tuntutan in¬ternasional atas masalah lingkungan hidup karena makin disadari bahwa kerusakan lingkungan di suatu wilayah akan berpengaruh di wilayah lainnya di muka bumi. Di bidang kebudayaan, suatu bangsa tidak mungkin lagi menghindarkan diri dari pengaruh peradaban global karena makin intensif¬nya interaksi antarbangsa melalui berbagai media komunikasi yang makin murah dan tersebar luas ke seluruh pelosok desa. Di bidang politik, makin berkurang kemampuan negara untuk mengontrol kepatuhan warganya kare¬na globalisasi bukan saja mengakibatkan internasionalisasi produksi barang dan jasa, melainkan juga internasionalisasi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, serta meningkatkan intensitas kontak dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses globalisasi.

Situasi yang digambarkan tadi sering kali menimbulkan situasi panas dingin yang diliputi ketegangan-ketegangan. Untuk mengatasi masalah ini diper¬lukan adap¬tasi dan inovasi pranata-pranata yang mendukung kehidupan ber¬masyarakat, berbangsa, dan bernegara agar secara elastis dapat menyi¬asati tantangan perubahan yang terjadi. Kegagalan dalam melakukan adaptasi dan inovasi pranata politik dan pranata ekonomi bukan saja akan menimbulkan kesulitan-kesulitan, melainkan juga mengandung resiko ter¬jadinya khaos dan kehancuran. Runtuhnya Orde Baru melalui reformasi be¬berapa tahun yang lalu adalah akibat kegagalannya untuk melakukan adap¬tasi dan inovasi pranata-pranata pendukungnya.

Proses globalisasi yang melanda suatu bangsa juga mempunyai keku-atan yang sangat dahsyat untuk membentuk kembali ideologi partai-partai dengan menyusupnya “globalisme” ke dalam ideologi asli mereka. Pemben-tukan kembali ideologi partai-partai ini akhirnya juga mendefinisikan ulang kesadaran para pemimpinnya. Oligarkhi yang terbangun dalam partai-partai itu lebih dekat dengan ideologi “globalisme” dan dengan mudah dapat me¬ma¬tahkan semangat perjuangan para pendukungnya yang kurang penga-laman dan kurang pendidikan.

ORDE REFORMASI DAN GLOBALISASI
Untuk meninjau lebih jauh pengaruh globalisasi terhadap masa depan Indonesia, perkenankan saya menyampaikan pandangan saya mengenai hakikat orde reformasi dibandingkan dengan Orde Baru. Dilihat dari kaca-mata ekspansi kapitalisme internasional, Orde Baru dan orde reformasi sebenar¬nya masih berada dalam satu perahu, meskipun berbeda keran¬jang, yaitu perahu yang akan membawa Indonesia terintegrasi lebih jauh ke dalam sistem kapitalisme internasional. Orde Baru dan orde reformasi lahir di tengah-tengah kekacauan eko¬nomi yang parah dan kemudian melakukan rehabilitasi ekonomi dengan dana pinjaman luar negeri berdasarkan resep-resep Dana Moneter Internasional (IMF). Keduanya menjalankan politik pintu terbuka, Orde Baru yang mendobrak pintunya dan orde reformasi melanjutkan prosesnya. Perbedaan penting antara politik pintu terbuka yang dijalankan oleh Orde Baru dan po¬litik pintu terbuka yang dijalankan oleh orde reformasi dapat dijelaskan sebagai berikut : politik pintu terbuka Orde Baru dimaksudkan untuk mengintegrasi¬kan Indonesia ke dalam kerangka kerja dunia bebas melawan komunisme, sedangkan politik pintu terbuka orde reformasi dimaksud¬kan untuk menginte¬grasikan Indonesia ke dalam masyarakat dunia paska perang dingin. Frasa dunia bebas dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk meng¬ga¬bungkan sekutu-sekutunya melawan komunisme selama perang dingin ; sedangkan frasa masyarakat dunia juga dipergunakan oleh Amerika Serikat un¬tuk menyatakan bahwa setelah usainya perang dingin hanya tinggal satu dunia, yaitu dunia yang dipimpin oleh Amerika Se¬rikat. Dalam kerangka kerja dunia bebas Amerika Serikat memberikan kebebasan kepada sekutu-sekutunya untuk memi¬lih sistem pemerintahan dan kebijaksanaan dalam negerinya sen¬diri, sedangkan dalam kerangka kerja masyarakat dunia sekutu-sekutunya itu harus menyesuaikan diri dengan “nilai-nilai universal” seperti pasar bebas, liberalisasi perdagang¬an, demokrasi, dan hak asasi manusia. Perubahan kebijakan Amerika Serikat ini mengikuti kecenderungan kapitalisme sebagai sistem dunia yang terus-menerus memperbesar keuntungannya melalui cara yang seefisien mungkin.

Melalui reformasi, ketidakpuasan rakyat dan kegelisahan elite politik diarahkan untuk berlangsungnya transisi politik dari kekuasaan militer ke pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Meskipun dalam reformasi sempat bergema semangat untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan, tetapi rezim yang terbentuk melalui pemilihan umum yang bebas dan demokratis itu justru memperdalam dan memperluas kebijakan pasar bebas yang sudah diperkenalkan oleh Orde Baru, melalui agenda privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi ekonomi di mana-mana. Hal ini terjadi karena intervensi lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang didukung oleh kepentingan oligarkhi, baik oligarkhi dalam birokrasi negara maupun oligarkhi dalam kepemimpinan partai-partai.


PANCASILA DAN GLOBALISASI
Dalam konteks seperti yang digambarkan di atas, globalisasi sebagai proyek ideologis kapitalime internasional untuk mem¬¬per¬¬luas kekuasaannya atas negara berdaulat haruslah diwaspadai sebagai musuh utama Pancasila saat ini. Usahanya yang gencar untuk terus memperlemah peran negara melalui agenda privati¬sasi, liberalisasi, dan deregulai ekonomi di mana-mana serta kampanye besar-besaran mengenai pasar bebas adalah merupakan tantangan yang sangat nyata terhadap Pancasila. Melawan pandangan liberal yang berusaha meyakinkan umat manusia bahwa pasar dengan sendirinya akan dapat memecahkan semua persoalan masyarakat, Panca¬sila justru menghendaki peranan aktif negara untuk membuat regulasi yang efektif atas kapital (asing maupun domestik) untuk melindungi kepentingan rakyat dan mewujudkan keadilan so¬sial. Pancasila menghendaki dicegahnya free fight competition and survival of the fittest yang akan menghancurkan perusahaan-perusahaan yang lemah melalui sentralisasi kapital pada perusahaan-perusahaan transnasional.

Pembelaan kita terhadap peranan negara untuk memperkuat kontrol sosial terhadap kapital tidak berlaku untuk negara yang dikuasai oleh koruptor dan pemburu rente. Prioritas, praktek, dan kebiasaan bertindak rezim yang korup hanya akan menggunakan negara sebagai alat struktural dan instrumental segelintir kelas penguasa untuk memperkaya diri dan mem¬pertahankan hak-hak istimewanya. Negara yang kita bela adalah negara yang secara cerdas dapat mengimplementasikan Pancasila di tengah-tengah gelombang globalisasi, melalui regulasi yang kompeten untuk melindungi rakyat Indonesia dari gempuran free fight liberalism.

Globalisasi telah digunakan sebagai ideologi untuk membenarkan berkembangnya ketidakadilan sosial, polarisasi sosial yang lebih besar, dan beralihnya sumber daya yang dimiliki negara ke kapital. Globalisasi mem-berikan rasionalisasi ideologis tumbuhnya ketidakadilan sosial yang secara diametral berlawanan dengan Pancasila yang menghendaki terwujudnya ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perkembangan global memang me¬¬mak¬sa kita untuk mengakui bah¬wa pasar adalah pusat kegiatan dan kemajuan ekonomi, tetapi pengalam¬an bangsa-bangsa di dunia juga menunjukkan bahwa pemerintah tetap memiliki peranan penting, bukan saja untuk menciptakan pemerataan yang lebih baik, tetapi juga untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Catatan statis¬tik me¬nunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat pemerataan pendapatan yang lebih lebih baik, pada tingkat pendapatan per kapita yang sama, akan me¬ngalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.


PANCASILA SEBAGAI BINTANG PENUNTUN
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indo-nesia (BPUPKI), yang kemudian dikenal sebagai Lahirnya Pancasila. Dalam pidato tersebut Bung Karno mengusulkan Pancasila menjadi dasar negara In¬donesia merdeka, atau dalam istilah beliau sendiri “dasar-dasar”, “philoso¬phische grondslag”, “Weltanschauung” di atas mana didirikan ne-gara Indo¬nesia. Atau mengutip dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Badan itu, dalam kata pengantar buku Lahirnya Pancasila, merupakan “suatu Beginsel yang menjadi dasar negara kita, yang menjadi Rechtideologie negara kita, suatu beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno”.

Pancasila sebagai dasar negara mempunyai akar langsung pada kehen¬dak sejarah bangsa Indonesia sendiri, yang diterima sebagai konsensus atau keputusan politik yang diambil oleh para pendiri negara. Mengapa founding fathers negara Republik Indonesia dengan sepakat bulat menerima Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya negara ? Kalau kita ikuti “suasana keba¬tinan” yang terungkap dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI nampak jelas bahwa founding fathers kita berupaya dengan semangat yang gigih untuk menetapkan dasar negara yang dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan me¬ne¬rima Pancasila sebagai dasar negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengorbankan identitasnya masing-masing. Pancasila diterima sebagai dasar negara karena nilai-nilai yang ter¬kandung di dalamnya mencerminkan cita-cita moral bersama sebagai bangsa. Atau dengan kata lain, prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Panca¬sila itu mengungkap¬kan pendirian dan pandangan hidup bersama bang¬sa Indonesia.
Cita-cita moral bangsa atau pendirian dan pandangan hidup bangsa adalah konstruksi pikiran suatu bangsa yang berisi preskripsi atau perintah moral bagi bangsa tersebut untuk mencapai cita-cita yang diinginkan bersa-ma. Dengan demikian, Pancasila sebagai cita-cita moral bangsa berfungsi se-bagai “bintang penuntun” untuk tercapainya cita-cita bersama. Meskipun Leitsteren itu merupakan titik akhir yang sangat jauh dan tidak mungkin di-capai sepenuhnya, tetapi Leitsteren itu sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menguji atau melakukan kontrol atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya, serta menjadi pedoman dalam mengambil keputusan praktis atas problematik yang dihadapi.


MEMBASISKAN PANCASILA
Masyarakat Pancasila akan terwujud apabila pengoperasian norma da¬sar Pancasila melalui pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penye-leng¬gara kekuasaan negara memang benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pancasila. Kontrol masyarakat terha-dap pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sangat di-perlukan agar praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan ne¬gara selalu mencerminkan norma dasar Pancasila itu. Kontrol masyarakat itu perlu untuk mencegah para pemburu rente menggunakan negara sebagai alat untuk memperkaya diri di tengah-tengah arus globalisasi (yang sarat dengan kepentingan ekspansi kapitalime global) yang melanda Indonesia sekarang ini.

Untuk memperkokoh eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita moral bangsa perlu dilancarkan gerakan untuk membasiskan Panca¬sila. Gerakan ini didasarkan pada adagium bahwa ketahanan ideologi suatu bangsa terletak pada kekuatan sosial yang mendukungnya. Dengan gerakan pembasisan ini, kita mengajak masyarakat untuk memperkokoh konsensus nasional tentang Pancasila sebagai dasar negara, memahami dan menghayati imple¬mentasi Pancasila di tengah-tengah arus globalisasi, dan membiasakan diri untuk menggunakan Pancasila sebagai “bintang penuntun” dalam menyele¬saikan masalah bangsa di tengah-tengah arus globalisasi. Pembasisan Pancasila bukanlah sekedar transfer of knowledge, melainkan harus merupakan usaha raksasa untuk membangun kembali ethos kebangsa¬an, seperti yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa pergerak¬an kemerdekaan dulu.

Pemberdayaan Masyarakat Desa

Di Indonesia, ada pegeseran menarik dalam hal wacana, paradigma dan kebijakan pembangunan, yakni dari pembangunan ke pemberdayaan. Tepatnya pembangunan desa terpadu pada tahun 1970-an, bergeser menjadi pembangunan masyarakat desa pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, kemudian bergeser lagi menjadi pemberdayaan masyarakat (desa) mulai akhir 1990-an hingga sekarang. Kini, dalam konteks reformasi, demokratisasi dan desentralisasi, wacana pemberdayaan mempunyai gaung luas dan populer.

Gagasan pemberdayaan berangkat dari realitas obyektif yang merujuk pada kondisi struktural yang timpang dari sisi alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumberdaya masyarakat (Margot Breton, 1994). Pemberdayaan sebenarnya merupakan sebuah alternatif pembangunan yang sebelumnya dirumuskan menurut cara pandang developmentalisme (modernisasi).

Pada intinya, paradigma lama (pembangunan) lebih berorientasi pada negara dan modal sementara paradigma baru (pemberdayaan) lebih terfokus pada masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara partisipatif. Modal adalah segala-galanya yang harus dipupuk terus meski harus ditopang dengan pengelolaan politik secara otoritarian dan sentralistik. Sebaliknya, pemberdayaan adalah pembangunan yang dibuat secara demokratis, desentralistik dan partisipatoris. Masyarakat menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan menikmati pembangunan. Negara adalah fasilitator dan membuka ruang yang kondusif bagi tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan institusi lokal.

Pemberdayaan dipahami sangat berbeda menurut cara pandang orang maupun konteks kelembagaan, politik, dan sosial-budayanya. Ada yang memahami pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Ada pula pihak lain yang menegaskan bahwa pemberdayaan adalah proses memfasilitasi warga masyarakat secara bersama-sama pada sebuah kepentingan bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan sumber daya, mengerahkan suatu kampanye aksi dan oleh karena itu membantu menyusun kembali kekuatan dalam komunitas.

Memahami pemberdayaan (masyarakat desa) dengan beberapa cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas

mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan.

Kedua, pemberdayaan secara prinsipil berurusan dengan upaya memenuhi kebutuhan (needs) masyarakat. Banyak orang berargumen bahwa masyarakat akar rumput sebenarnya tidak membutuhkan hal-hal yang utopis (ngayawara) seperti demokrasi, desentralisasi, good governance, otonomi daerah, masyarakat sipil, dan seterusnya. “Apa betul masyarakat desa butuh demokrasi dan otonomi desa? Saya yakin betul, masyarakat itu hanya butuh pemenuhan sandang, pangan dan papan (SPP). Ini yang paling dasar. Tidak ada gunanya bicara demokrasi kalau rakyat masih miskin”, demikian tutur seseorang yang mengaku sering berinteraksi dengan warga desa. Pendapat ini masuk akal, tetapi sangat dangkal. Mungkin kebutuhan SPP itu akan selesai kalau terdapat uang yang banyak. Tetapi persoalannya sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat itu sangat langka (scarcity) dan terbatas (constrain). Masyarakat tidak mudah bisa akses pada sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan SPP. Karena itu, pemberdayaan adalah sebuah upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah-tengah kelangkaan dan keterbatasan sumberdaya. Bagaimanapun juga berbagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan ada problem struktural (ketimpangan, eksploitasi, dominasi, hegemoni, dll) yang menimbulkan pembagian sumberdaya secara tidak merata. Dari sisi negara, dibutuhkan kebijakan dan program yang memadai, canggih, pro-rakyat miskin untuk mengelola sumberdaya yang terbatas itu. Dari sisi masyarakat, seperti akan saya elaborasi kemudian, membutuhkan partisipasi (voice, akses, ownership dan kontrol) dalam proses kebijakan dan pengelolaan sumberdaya.

Masih ada beberapa hal yang perlu dibicarakan mengenai pemberdayaan masyarakat desa, seperti dari sisi proses, dimana masyarakat desa sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar, dan meraih kedaulatan. Hal ini membutuhkan kehadiran pihak luar, yang melakukan intervensi. Hadirnya pihak luar (pemerintah, LSM, organisasi masyarakat sipil, organisasi agama, perguruan tinggi, dan lain-lain) ke komunitas bukanlah mendikte, menggurui, atau menentukan, melainkan bertindak sebagai fasilitator (katalisator) yang memudahkan, menggerakkan, mengorganisir, menghubungkan, memberi ruang, mendorong, membangkitkan dan seterusnya. Hubungan antara komunitas dengan pihak luar itu bersifat setara, saling percaya, saling menghormati, terbuka, serta saling belajar untuk tumbuh berkembang secara bersama-sama.

Minggu, 26 September 2010

Harapan dari putra Desa

Dalam rangka menyukseskan penyelenggaraan Pemerentahan Daerah yang sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pemerentah Pusat telah mengambil langkah yang sangat menggembirakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerentah Daerah. Kewenangan yang sebelumnya terpusat kini Pemerentah Daerah diberi kewengan seluas-luasnya untuk mengelola dan mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerentahan menurut azaz otonomi dan tugas pembantuan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Selanjutnya terkait dengan pelaksanaan Otonomi Daerah Undang-Undang juga mengakui otonomi yang dimiliki oleh Desa/Kelurahan. Sebagai unit Pemerentahan terdepan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, dalam perwujudan demokrasi penyelenggaraan Pemerentahan Desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang bertugas sebagai Lembaga pengawasan dalam penyelenggaraan Pemerentahan Desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepaladesa.

Oleh karenanya agar dalam pelaksanaannya berjalan dengan baik, maka sudah semestinya harus diberikan arahan dan bimbingan, pelatihan, supervisi, koordinasi pemantauan dan evaluasi serta partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan ini, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. Sehingga tugas pokok antara Pemerentah Desa dan BPD dapat berjalan sesuai dengan kewenangann

Jumat, 24 September 2010

Dari putra nelayan untuk seorang Bupati Jember

Berdasarkan staatblat ondistrict Kabupaten Jember-Jawa Timur didirikan pada tanggal 1 Januari 1929 dan merupakan pengembangan karesidenan Besuki yang meliputi ; Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso serta Besuki sendiri. Berdirinya Jember sebagai daerah baru tidak lepas dari pesatnya perkembangan perkebunan swasta yang dibuka pada pertengahan abad 19. Dalam perkembangan selanjutnya, ondistrict Jember meninggalkan daerah induknya. Sehingga saat ini, Jember menjadi pusat ekonomi, sosial dan politik di Timur pulau Jawa. Wilayah Jember merupakan tanah yang subur di kelilingi pegunungan dan bentang alam berbukit-bukit, tanah Jember merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan maupun pengembangan pertanian.

Kabupaten Jember memiliki luas 3.239,34 kilometer persegi yang terbagi dalam 31 kecamatan. Batas Wilayah Kab Jember antara lain :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lumajang

Secara umum terdiri dari beberapa karakteristik wilayah berbeda yang telah menjadikan Jember sebagai tempat yang kaya atas sumber daya alam hayati. Selain pertanian dan perkebunan, potensi sumber daya alam bidang kehutanan dan kelautan menjadikan mata pencaharian utama masyarakat Jember. Setidaknya terdapat beberapa kawasan penting perlindungan biodiversitas antara lain Taman Nasional Meru Betiri, Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang (G. Argopuro), Cagar Alam Curah Manis Sempolan, Hutan Lindung Baban Silosanen , Cagar Alam Watangan Puger, Cagar Alam Nusa Barong.
Tanah yang subur menarik George Birnie, seorang Belanda, untuk membuka lahan penanaman besar-besaran tembakau Na Oogst (NO) pada 1858. Sebagai pemilik kapital, Birnie segera mengajukan ijin kepada pemerintah Hindia Belanda guna membuka Onderneeming (perusahaan perkebunan) tembakau di daerah Jenggawah (saat ini secara administratif terbagi menjadi tiga kecamatan yaitu kecamatan Jenggawah, kecamatan Rambipuji dan kecamatan Ajung, sembilan desa dan 36 padukuhan). Baru pada tahun 1870 melalui Agrarische Besluit (AB), Birnie mendapat hak erpacht atau hak sewa untuk perkebunan tembakau selama 75 tahun. Sedangkan pengelolaannya dipegang oleh badan hukum milik pemerintah yaitu Landbouw Matschappij Oud DJember (NV. LMOD). Perusahaan perkebunan partikelir, terutama dengan usaha tembakau memang telah menjadi “emas hijau” bagi pemodal.
Awal abad 19, wilayah Jember terutama wilayah hamparan dan pegunungan telah mengenal dan dihidupi oleh sistem perkebunan. Maka, sebagaimana wilayah lain di Indonesia, industri perkebunan tumbuh di Jember, ditandai adanya tenaga kerja (buruh), sistim pengupahan yang tetap dan periodik, juga adanya kaum terdidik dan pemodal . Keadaan ini berdampak pada munculnya sistem sosial yang berlapis didalam masyarakat perkebunan di Jember. Sehingga mendorong penggunaan otoritas kekuasaan pemodal terhadap para buruh perkebunan tersebut. Dalam lingkup kekuasaan penguasaan perkebunan yang relatif tertutup, jauh dari interaksi dengan masyarakat luas, kultur buruh perkebunan yang inferior menjadikan penguasa perkebunan sangat feodal. Nampak pada angka kemiskinan di Jember terbesar terjadi di desa-desa sekitar perkebunan. Ini diwakili oleh sekitar 29.734 KK yang dari data PODES BPS 2006. Pemiskinan ini merupakan penyumbang pengerdilan peran perempuan di berbagai bidang. Kemudian untuk mengembalikan martabat dan harkat masyarakat pada umumnya, khususnya kaum perempuan pedesaan di Jember perlu diadakan berbagai kegiatan.

Sementara wilayah Jember dibagian selatan, merupakan lingkungan pesisir pantai selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudra Indonesia. Masyarakat pesisir pantai selatan Jember sebagian besar menggatungkan hidupnya di sektor kelautan, meskipun ada sebagian yang masih menggarap lahan pertanian. Tapi keberadaan laut luas bagi masyarakat pesisir merupakan matapencaharian hidup utama, baik sebagai nelayan, usaha kelautan maupun barang dan jasa disektor ini.
Keadaan pesisir selatan Jawa berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh LSM Mina Bahari dan pecinta alam yang konsen di pesisir laut selatan Jawa, arus perairan dan ekologi perairan di wilayah laut selatan terutama karang tempat berkumpulnya ikan karang (kerapu) rusak, dan rumpon-rumpon yang pernah dipasang sudah tidak memadai sebagai media pembangun ekologis ikan kerapu dan ikan karang lainnya rusak. Wilayah tangkap di sekitar Cagar Alam Nusa Barung, terdapat banyak terumbu karang yang rusak, rumpon buatan nelayan pun banyak yang sudah tidak memenuhi syarat mengumpulnya ikan-ikan karang. Hutan mangrove yang mulai punah, membuat biota laut dan ekosistem pesisirnya kurang begitu nyaman dalam melakukan pembiakan maupun berlindung ketika arus kuat menyapu sekitar laut dangkal disekitar cagar alam Nusa barung tersebut.
Kurangnya wilayah tangkap semakin sempit, ditambah lagi persoalan kondisi fisik jukung nelayan yang semakin hari semakin parah. Apalagi dimusim-musim sepi ikan (laip), banyak jukung kayu nelayan yang sandar terlalu lama, sampai kayu dasar penyangga jukung dikeroposi oleh “kapang” atau istilah lainnya tumbelo (irian). Sehingga tidak mendukung nelayan melaut untuk mendapatkan ikan yang cukup dalam setiap harinya. Bahwa kondisi perahu harus direnovasi dan biasanya memakan waktu, dan untuk mendapatkan kayu dengan kualitas baikpun semakin mahal dan susah memperolehnya. Dalam prakteknya pemanfaat utama hasil log (kayu balok) dari kegiatan illegal logging adalah nelayan pancing yang menggunakan jukung. Melihat kondisi hutan yang semakin tidak mendukung produksi kayunya (illegal logging) semakin memperburuk kinerja nelayan. Hasil hutan log kayu besar biasanya balok kayu suren, bendo, ganggangan, kenitu, manting dan jati yang sekarang makin sulit di dapatkan di hutan sekitar kita. Lokasi cagar alam Watangan Puger adalah wilayah yang paling dekat dengan pemenuhan kebutuhan log kayu atau di sekitar Taman Nasional Meru Betiri, sehingga semakin gundul hutan diwilayah ini.

Selama ini belum ada program yang fokus terhadap kepentingan nelayan tersebut. Mungkin memang fokus tugas pokok dan kerja dari lembaga teknis seperti Dinas Peternakan dan Perikanan kabupaten Jember yang masih bias, apakah harus memprioritaskan program daerah ataukah justru melaksanakan program pusat Departemen Kelautan dan Perikanan. Di lapangan yang terjadi tetap saja belum ada prioritas kerja dalam pengelolaan potensi kelautan dan perikanan utamanya yang menyangkut peningkatan potensi penghasilan nelayan. Masyarakat nelayan yang cenderung egaliter, hampir tidak pernah mengeluh atau bahkan mengadakan perlawanan terhadap sistem. Karena masyarakat nelayan lebih meyakini bahwa laut masih mampu memberi mereka rejeki yang berlimpah untuk kepentingan hidup keluarganya. Laut yang tak terbatas bagi mereka merupakan berkah yang tiada matinya. Sehingga ketergantungan hidup nelayan yaitu laut, maka jika melaut mulai terjadi hambatan-hambatan maka semakin lama profesi nelayan semakin ditinggalkan masyarakat pesisir. Untuk itulah program pemerintah diharapkan mampu menjadi alternatif solusi sebagai pemecahan masalah di masyarakat nelayan.

Jumat, 17 September 2010

"PRESIDEN KEBAL HUKUM"

Peristiwa open hause Presiden Susilo Bambang Yudoyono di istana yang mengakibatkan meninggalnya seorang tuna netra pak Joni Malela 45 tahun asal Manado Sulawesi Utara yang di dampingi istri tercintanya. Kejadian tersebut sungguh memalukan, acara sekelas Presiden dapat mengakibatkan korban jiwa,aneh bein ajaib.

Dan yang lebih ajaib lagi Presiden Susilo Bambang Yudono hanya terkejut dan prihatin dengan di kompensasi bantuan uang senilai Rp 10.000.000. tanpa ada rasa tanggung jawab secara hukum, lucu...ya memang lucu karena tak sesuai dengan apa yang beliau ucapkan : "hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu" padahal insiden tersebut jelas jelas mengakibatkan hilangnya nyawa sesorang, apakah Presiden lupa dengan ucapannya atau tidak mengerti kalau insiden tersebut sangat berkaitan dengan hukum.
Sunyi, senyap, bungkam, diam seribu bahasa, tak ada yang berteriak dan bertindak mulai dari praktisi sampai pelaksana penegak hukum, apa mereka tidur atau takut dan atau tidak menarik karena yang jadi korban hanya seorang hamba gembel miskin tuna netra lagi, sehingga cukup diberi kompensasi bantuan senilai Rp. 10.000.000. tragis satu nyawa hanya dihargai Rp. 10.000.000. tanpa ada proses hukum. he he he ternyata petinggi negeri ini "Kebal Hukm" apa kata dunia...??? kapan keadilan bisa di tegakan kalau hukum hanya berlaku untuk orang kecil...? kapan hukum jadi panglima di negeri ini...?

Sebenarnya peristiwa meninggalnya pak Joni Malela pada acara open hause menantang POLRI, berani nggak mengusut kejadian tersebut karena peristiwa itu merupakan tindak pidana murni, hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab undang undang pidana pada BAB XXIV Tindak pidana yang mengakibatkan mati atau luka karena kealpaan pasal 591 :

1. Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka sehingga timbul penyakit atau halangan mengjalankan jabatan,profesi atau mata pencaharian selama waktu tertentu, di pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

2. Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka berat, di pidana paling lama 3 tahun, atau pidana denda paling banyak kategori IV.

3.Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang lain, di pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau pidana denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori IV.

Pasal 592 :
1. Jika tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 591 dilakukan dalam menjalnkan suatu jabatan atau profesi, maka pidanya ditambah 1/3.

2. Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat juga di jatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 ayat 1 huruf c dan pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 ayat 1 huruf g.

Nah jelas to apa yang terjadi di acara open hause Persiden Susilo Bambang Yodoyono di akibatkan karena kelalaian atau kealpaan sehingga mengakibatkan matinya orang lain. ini bukan delik aduan, justru delik pidana murni yang harus di usut tuntas oleh POLRI, tapi kenyataannya memble...memble...membke....

Tulisan ini bukan kami bermaksud meminter atau menggurui, tapi dari sanubari yang sangat dalam, bahwa ada sebuah peristiwa yang sangat memalukan dan kebetulan peristiwa tersebut terjadi pada acara open hause Presiden, melalui tulisan ini semoga Kepolisian Republik Indonesia membuka mata dan mau mengusut tuntas tak peduli siapa yang punya acara, dan semoga pula para praktisi hukum ada yang berani mengungkap kejadian tersebut.

Memang peristiwa tersebut kelihatannya sepele, tapi ini soal hukum, ini soal hilangnya nyawa seseorang yang sangat perlu mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Semoga hukum benar benar jadi panglima, sehingga keadilan benar benar tercipta di negeri yang kita cintai ini. Amin.