Total Tayangan Halaman

Jumat, 24 September 2010

Dari putra nelayan untuk seorang Bupati Jember

Berdasarkan staatblat ondistrict Kabupaten Jember-Jawa Timur didirikan pada tanggal 1 Januari 1929 dan merupakan pengembangan karesidenan Besuki yang meliputi ; Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso serta Besuki sendiri. Berdirinya Jember sebagai daerah baru tidak lepas dari pesatnya perkembangan perkebunan swasta yang dibuka pada pertengahan abad 19. Dalam perkembangan selanjutnya, ondistrict Jember meninggalkan daerah induknya. Sehingga saat ini, Jember menjadi pusat ekonomi, sosial dan politik di Timur pulau Jawa. Wilayah Jember merupakan tanah yang subur di kelilingi pegunungan dan bentang alam berbukit-bukit, tanah Jember merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan maupun pengembangan pertanian.

Kabupaten Jember memiliki luas 3.239,34 kilometer persegi yang terbagi dalam 31 kecamatan. Batas Wilayah Kab Jember antara lain :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lumajang

Secara umum terdiri dari beberapa karakteristik wilayah berbeda yang telah menjadikan Jember sebagai tempat yang kaya atas sumber daya alam hayati. Selain pertanian dan perkebunan, potensi sumber daya alam bidang kehutanan dan kelautan menjadikan mata pencaharian utama masyarakat Jember. Setidaknya terdapat beberapa kawasan penting perlindungan biodiversitas antara lain Taman Nasional Meru Betiri, Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang (G. Argopuro), Cagar Alam Curah Manis Sempolan, Hutan Lindung Baban Silosanen , Cagar Alam Watangan Puger, Cagar Alam Nusa Barong.
Tanah yang subur menarik George Birnie, seorang Belanda, untuk membuka lahan penanaman besar-besaran tembakau Na Oogst (NO) pada 1858. Sebagai pemilik kapital, Birnie segera mengajukan ijin kepada pemerintah Hindia Belanda guna membuka Onderneeming (perusahaan perkebunan) tembakau di daerah Jenggawah (saat ini secara administratif terbagi menjadi tiga kecamatan yaitu kecamatan Jenggawah, kecamatan Rambipuji dan kecamatan Ajung, sembilan desa dan 36 padukuhan). Baru pada tahun 1870 melalui Agrarische Besluit (AB), Birnie mendapat hak erpacht atau hak sewa untuk perkebunan tembakau selama 75 tahun. Sedangkan pengelolaannya dipegang oleh badan hukum milik pemerintah yaitu Landbouw Matschappij Oud DJember (NV. LMOD). Perusahaan perkebunan partikelir, terutama dengan usaha tembakau memang telah menjadi “emas hijau” bagi pemodal.
Awal abad 19, wilayah Jember terutama wilayah hamparan dan pegunungan telah mengenal dan dihidupi oleh sistem perkebunan. Maka, sebagaimana wilayah lain di Indonesia, industri perkebunan tumbuh di Jember, ditandai adanya tenaga kerja (buruh), sistim pengupahan yang tetap dan periodik, juga adanya kaum terdidik dan pemodal . Keadaan ini berdampak pada munculnya sistem sosial yang berlapis didalam masyarakat perkebunan di Jember. Sehingga mendorong penggunaan otoritas kekuasaan pemodal terhadap para buruh perkebunan tersebut. Dalam lingkup kekuasaan penguasaan perkebunan yang relatif tertutup, jauh dari interaksi dengan masyarakat luas, kultur buruh perkebunan yang inferior menjadikan penguasa perkebunan sangat feodal. Nampak pada angka kemiskinan di Jember terbesar terjadi di desa-desa sekitar perkebunan. Ini diwakili oleh sekitar 29.734 KK yang dari data PODES BPS 2006. Pemiskinan ini merupakan penyumbang pengerdilan peran perempuan di berbagai bidang. Kemudian untuk mengembalikan martabat dan harkat masyarakat pada umumnya, khususnya kaum perempuan pedesaan di Jember perlu diadakan berbagai kegiatan.

Sementara wilayah Jember dibagian selatan, merupakan lingkungan pesisir pantai selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudra Indonesia. Masyarakat pesisir pantai selatan Jember sebagian besar menggatungkan hidupnya di sektor kelautan, meskipun ada sebagian yang masih menggarap lahan pertanian. Tapi keberadaan laut luas bagi masyarakat pesisir merupakan matapencaharian hidup utama, baik sebagai nelayan, usaha kelautan maupun barang dan jasa disektor ini.
Keadaan pesisir selatan Jawa berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh LSM Mina Bahari dan pecinta alam yang konsen di pesisir laut selatan Jawa, arus perairan dan ekologi perairan di wilayah laut selatan terutama karang tempat berkumpulnya ikan karang (kerapu) rusak, dan rumpon-rumpon yang pernah dipasang sudah tidak memadai sebagai media pembangun ekologis ikan kerapu dan ikan karang lainnya rusak. Wilayah tangkap di sekitar Cagar Alam Nusa Barung, terdapat banyak terumbu karang yang rusak, rumpon buatan nelayan pun banyak yang sudah tidak memenuhi syarat mengumpulnya ikan-ikan karang. Hutan mangrove yang mulai punah, membuat biota laut dan ekosistem pesisirnya kurang begitu nyaman dalam melakukan pembiakan maupun berlindung ketika arus kuat menyapu sekitar laut dangkal disekitar cagar alam Nusa barung tersebut.
Kurangnya wilayah tangkap semakin sempit, ditambah lagi persoalan kondisi fisik jukung nelayan yang semakin hari semakin parah. Apalagi dimusim-musim sepi ikan (laip), banyak jukung kayu nelayan yang sandar terlalu lama, sampai kayu dasar penyangga jukung dikeroposi oleh “kapang” atau istilah lainnya tumbelo (irian). Sehingga tidak mendukung nelayan melaut untuk mendapatkan ikan yang cukup dalam setiap harinya. Bahwa kondisi perahu harus direnovasi dan biasanya memakan waktu, dan untuk mendapatkan kayu dengan kualitas baikpun semakin mahal dan susah memperolehnya. Dalam prakteknya pemanfaat utama hasil log (kayu balok) dari kegiatan illegal logging adalah nelayan pancing yang menggunakan jukung. Melihat kondisi hutan yang semakin tidak mendukung produksi kayunya (illegal logging) semakin memperburuk kinerja nelayan. Hasil hutan log kayu besar biasanya balok kayu suren, bendo, ganggangan, kenitu, manting dan jati yang sekarang makin sulit di dapatkan di hutan sekitar kita. Lokasi cagar alam Watangan Puger adalah wilayah yang paling dekat dengan pemenuhan kebutuhan log kayu atau di sekitar Taman Nasional Meru Betiri, sehingga semakin gundul hutan diwilayah ini.

Selama ini belum ada program yang fokus terhadap kepentingan nelayan tersebut. Mungkin memang fokus tugas pokok dan kerja dari lembaga teknis seperti Dinas Peternakan dan Perikanan kabupaten Jember yang masih bias, apakah harus memprioritaskan program daerah ataukah justru melaksanakan program pusat Departemen Kelautan dan Perikanan. Di lapangan yang terjadi tetap saja belum ada prioritas kerja dalam pengelolaan potensi kelautan dan perikanan utamanya yang menyangkut peningkatan potensi penghasilan nelayan. Masyarakat nelayan yang cenderung egaliter, hampir tidak pernah mengeluh atau bahkan mengadakan perlawanan terhadap sistem. Karena masyarakat nelayan lebih meyakini bahwa laut masih mampu memberi mereka rejeki yang berlimpah untuk kepentingan hidup keluarganya. Laut yang tak terbatas bagi mereka merupakan berkah yang tiada matinya. Sehingga ketergantungan hidup nelayan yaitu laut, maka jika melaut mulai terjadi hambatan-hambatan maka semakin lama profesi nelayan semakin ditinggalkan masyarakat pesisir. Untuk itulah program pemerintah diharapkan mampu menjadi alternatif solusi sebagai pemecahan masalah di masyarakat nelayan.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Permasalahan nelayan bertambah rumit ketika nelayan tidak bisa ikut menikmati harga ikan ketika tinggi, terutama para buruh nelayan.Hal itu karena terlalu panjangnya proses pendistribusian hasil tangkap nelayan,sehingga mudah dimanfaatkan segelintir orang (pengambek) untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya.Seandainya Jember punya pabrik pengalengan ikan sendiri mungkin bisa sedikit membatasi ruang gerak para pengambek.

Mina Bahari mengatakan...

oleh karnanya dibutuhkan peran pemkab agar lebih fokus, terutama peningkatan kinerja dari dinas perikanan